• UGM
  • SPs UGM
  • Library
  • IT Center
  • Webmail
Universitas Gadjah Mada Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan
Universitas Gadjah Mada
  • BERANDA
  • PROGRAM MAGISTER
    • PROFIL
    • PENDAFTARAN
    • KURIKULUM
      • PEMETAAN
      • MATA KULIAH
      • TUGAS AKHIR
    • AKADEMIK
      • KALENDER AKADEMIK
      • LAYANAN AKADEMIK MAHASISWA
      • AKREDITASI PRODI
  • PROGRAM DOKTOR
    • PROFIL
    • PENDAFTARAN
    • KURIKULUM
      • PERKULIAHAN
      • TUGAS AKHIR
    • AKADEMIK
      • KALENDER AKADEMIK DAN JADWAL UJIAN
      • LAYANAN AKADEMIK MAHASISWA
      • AKREDITASI PRODI
    • RISET/PUBLIKASI
  • KONTAK
  • Beranda
  • SDG 13
  • SDG 13
Arsip:

SDG 13

Dukung Smart City IKN, Tim UGM Laksanakan Survei Lapangan Riset Fundamental 2025

BeritaBerita S3FlashFlash S3 Monday, 18 August 2025

Dalam rangka mendukung pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai smart city yang berkelanjutan, Tim Riset Fundamental 2025 dari Universitas Gadjah Mada (UGM) telah melaksanakan kegiatan survei lapangan pada tanggal 11–16 Agustus 2025. Kegiatan ini merupakan bagian dari skema Riset Fundamental 2025 dengan topik: “Inovasi dan Sistem Pengelolaan Sampah yang Smart untuk Mendukung Implementasi Smart City di Ibu Kota Nusantara.”

[sangar-slider id=”1798″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Tim riset ini dipimpin oleh Prof. Dr. Rini Rachmawati, S.Si., M.T., dosen Departemen Geografi Pembangunan sekaligus Ketua Minat Studi Pembangunan Wilayah pada Program Magister Geografi UGM. Beliau didampingi oleh dua peneliti utama, yaitu Prof. Dr. Eko Haryono, M.Si. (Dosen Departemen Geografi Lingkungan dan Ketua Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan UGM) dan Ir. Agus Prasetya, M.Eng.Sc., Ph.D. (Dosen Departemen Teknik Kimia UGM).

Kegiatan ini juga melibatkan para asisten peneliti dari berbagai latar belakang akademik, yakni mahasiswa Magister Geografi UGM Minat Studi Pembangunan Wilayah: Dias Oktri Raka Setiadi, S.Si., Yunita Salsabila, S.Si., dan Gilang Cahya Nusantara; serta alumni: Amandita ‘Ainur Rohmah, S.Si., M.Sc. Tak hanya itu, turut bergabung pula mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan UGM, Fauzan Hidayat, S.T., M.Si.

Survei lapangan ini bertujuan untuk menghimpun data terkait sistem pengelolaan sampah yang ada di wilayah IKN serta mengidentifikasi potensi penerapan teknologi dan pendekatan inovatif dalam pengelolaan sampah berbasis smart city. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan sistem tata kelola lingkungan di IKN yang modern, efisien, dan ramah lingkungan. Dalam pelaksanaannya, tim melakukan observasi lapangan, wawancara dengan berbagai pemangku kepentingan, serta pemetaan spasial untuk mendukung analisis yang komprehensif.

Kegiatan riset ini mendukung pencapaian beberapa poin dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), antara lain SDG 11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) melalui dukungan terhadap pengembangan kota yang tangguh dan ramah lingkungan, SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dengan fokus pada pengelolaan limbah yang berkelanjutan, SDG 13 (Penanganan Perubahan Iklim) dengan kontribusi dalam mengurangi dampak lingkungan dari sistem pengelolaan sampah, serta SDG 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan) melalui kolaborasi lintas disiplin ilmu dan aktor dalam proses riset dan implementasi. Dengan ini, UGM menegaskan komitmennya dalam mendukung pembangunan nasional dan global menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

Penulis: Ulyn N

Defisiensi: Kegiatan Teori dan Praktik Terintegrasi untuk Bekal Semester Baru

BeritaFlash Monday, 18 August 2025

Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) secara resmi membuka Semester Gasal TA. 2025/2026 dengan menyelenggarakan rangkaian kegiatan defisiensi dan praktik lapangan bagi mahasiswa. Kegiatan ini bertujuan memperkuat pemahaman dasar lintas disiplin serta meningkatkan kapasitas akademik mahasiswa dalam memahami isu-isu lingkungan yang kompleks dan multidimensi.

[sangar-slider id=”1790″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Defisiensi yang berlangsung selama satu minggu ini menghadirkan pakar dari berbagai disiplin ilmu, alumni, dan pustakawan UGM untuk membekali mahasiswa dengan pengetahuan dasar tentang isu-isu lingkungan penting seperti perubahan iklim (SDG 13), pengelolaan air bersih dan sanitasi (SDG 6), restorasi ekosistem darat (SDG 15), transisi energi bersih dan terjangkau (SDG 7), serta kemitraan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG 17). Ketua kegiatan, Dr. Sudrajat, menyatakan bahwa defisiensi menjadi momen penting untuk menyamakan pemahaman mahasiswa dari latar belakang yang beragam serta menyiapkan mereka dengan fondasi teori dan konsep yang kuat untuk melanjutkan studi mereka di bidang ilmu lingkungan dan geografi.

Melengkapi kegiatan di dalam kelas yang diselenggarakan pada 11-15 Agustus 2025, Program Magister Ilmu Lingkungan UGM juga menggelar praktik yang dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 2025 di lima lokasi strategis yaitu Magelang, Purworejo, dan Kulon Progo. Kegiatan ini memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa untuk mengamati dan mengkaji fenomena lingkungan.

Setiap lokasi dipilih secara cermat untuk menggambarkan berbagai tantangan lingkungan, mulai dari dampak pembangunan jalan tol terhadap ekosistem, adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim di permukiman, pengembangan ekowisata yang berkelanjutan, hingga kajian morfologi lahan dan ekonomi berkelanjutan. Penutupan kegiatan dilakukan di lokasi ekowisata strategis dengan diskusi reflektif dan presentasi rencana riset mahasiswa sebagai wujud komitmen awal mereka dalam riset lingkungan berbasis keberlanjutan.

Menurut Dr. Sudrajat, praktik lapangan merupakan langkah penting untuk mengintegrasikan teori dan praktik, membangun kesadaran kritis, serta mendorong kemampuan analitis mahasiswa dalam memahami interaksi kompleks antara manusia dan lingkungan. Pengalaman lapangan diharapkan menjadi pijakan awal bagi mahasiswa dalam menjalankan riset yang berdampak nyata bagi pencapaian target SDGs, sekaligus memperkuat sinergi antara akademisi, masyarakat, dan pemerintah daerah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal maupun nasional.

Program Magister Ilmu Lingkungan UGM terus berkomitmen menjadi pionir dalam pengembangan keilmuan lingkungan yang berorientasi pada solusi dan keberlanjutan, mempersiapkan lulusan yang mampu berkontribusi dalam riset, kebijakan, dan aksi nyata menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.

Untuk informasi lebih lanjut tentang program dan kegiatan akademik, dapat mengunjungi laman resmi Program Magister Ilmu Lingkungan UGM di https://lingkungan.pasca.ugm.ac.id/.

Penulis: Agung

Editor: Ulyn N

UGM Sambut University of Birmingham: Momentum Strategis Penjajakan Kemitraan Akademik Pascasarjana

BeritaBerita S3FlashFlash S3 Wednesday, 6 August 2025

Universitas Gadjah Mada (UGM) menerima kunjungan dari University of Birmingham (UoB) di Sekolah Pascasarjana UGM pada Rabu, 6 Agustus 2025. Pertemuan ini dihadiri oleh Prof. Siti Malkhamah, Prof. Eko Haryono, dan Dr. Priyaji Agung Pambudi dari UGM, serta Prof. Gregor Leckebusch dan Ahmad (mahasiswa) dari UoB. Kedua universitas membahas rencana kerja sama yang lebih mendalam dalam berbagai bidang, termasuk pertukaran akademik, penelitian kolaboratif, dan program joint degree.

[sangar-slider id=”1778″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Rencana kerja sama yang dibahas mencakup beberapa inisiatif strategis, seperti visiting lecture, summer course, dan kolaborasi penelitian. Selain itu, kedua institusi juga membahas rencana pengembangan program joint degree untuk master dan doctoral program.

Kemitraan ini juga sejalan dengan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 4 (Quality Education) melalui program pertukaran pelajar dan penguatan kurikulum, serta SDG 17 (Partnerships for the Goals) dengan memperkuat jejaring global antara universitas. Kolaborasi penelitian di bidang lingkungan juga mendukung SDG 13 (Penanganan Climate Action) dan SDG 15 (Life on Land) melalui inisiatif yang melibatkan Kementerian Lingkungan Hidup. Sinergi yang dilakukan oleh UGM dan UoB berkomitmen untuk meningkatkan dampak akademik dan sosial, mendorong inovasi, serta memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan berkelanjutan di tingkat global.

Penulis: Lucky

Editor: Ulyn

Eksplorasi Potensi Karbon Ekosistem Mangrove Mojo Pemalang

Berita Wednesday, 23 July 2025

Tim Minat Biotik dari Program Magister Ilmu Lingkungan melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Mangrove Mojo, Kabupaten Pemalang dengan menganalisis struktur komunitas mangrove, mengukur stok karbon, serta menilai parameter lingkungan yang mempengaruhi ekosistem mangrove di kawasan yang telah ditetapkan sebagai role model pengelolaan mangrove berbasis kolaborasi di Indonesia.

[sangar-slider id=”1741″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan oleh Renta et al. (2016), Avicennia marina mendominasi tingkat pohon dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 153,24, sedangkan Rhizophora mucronata mendominasi tingkat anakan dengan INP 171,40. Kawasan ini memiliki kapasitas penyerapan karbon yang signifikan dengan estimasi simpanan karbon biomassa sebesar 21,55–144,22 ton C/ha dan karbon sedimen 98,45–181,06 ton C/ha, dengan rata-rata total simpanan karbon mencapai 155,13 ton C/ha. Temuan ini menjadikan hutan mangrove Mojo sebagai salah satu solusi alami paling efektif dalam menahan emisi gas rumah kaca.

Observasi lapangan mengungkap kondisi ekosistem terkini yang menunjukkan hasil kanopi lebat, pohon sehat dengan daun hijau gelap, dan sistem akar yang kuat. Kehadiran burung migran dan ikan gelodok (mudskipper) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove berperan sebagai habitat penting bagi keanekaragaman hayati yang lebih luas. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai total cadangan karbon pada kawasan mangrove Desa Mojo sebesar 55.73 ton C/ha. Namun demikian, hasil observasi juga mengidentifikasi adanya transisi zona kritis dengan area pohon mangrove mati dan mengering yang diduga merupakan akibat dari abrasi dan penurunan muka tanah yang disebabkan oleh maraknya alih fungsi lahan menjadi tambak udang vaname yang membutuhkan air tawar dalam proses budidayanya. Dibandingkan dengan desa sekitar seperti Pesantren dan Limbangan, Mojo memiliki rasio tambak terhadap mangrove yang lebih rendah (14,47%), menunjukkan tekanan lahan yang relatif ringan dan potensi keberhasilan rehabilitasi yang lebih tinggi (Fatmawati et al., 2016).

Kegiatan KKL ini secara langsung mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 14 (Life below Water) melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir, serta SDG 13 (Climate Action) dengan mengidentifikasi potensi penyerapan karbon mangrove sebagai solusi berbasis alam. Melalui pendekatan ilmiah yang terintegrasi dengan keterlibatan masyarakat lokal, termasuk kelompok Pelita Bahari yang dibentuk bersama OISCA, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah signifikan dalam mendukung strategi konservasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. “Saat ini kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ekosistem mangrove telah menunjukkan peningkatan, harapannya semoga pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai penambak baik ikan bandeng maupun udang vaname dapat beriringan dengan upaya pelestarian lingkungan,” ujar Bapak Tolani selaku Ketua Kelompok Pelita Bahari. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal ini memperkuat upaya perlindungan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.

“Selama melakukan penelitian melalui program kuliah kerja lapangan di kawasan ekosistem esensial mangrove Desa Mojo, Kabupaten Pemalang, kami menyaksikan secara langsung bagaimana hutan mangrove menjadi benteng alami bagi pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa” ujar Tim Minat Biotik. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan ekosistem merupakan suatu hal yang krusial untuk dilakukan, khususnya dalam konteks krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan tekanan pembangunan.

Penulis: Tim KKL

Menyingkap Ancaman Intrusi Air Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Pemalang

Berita Tuesday, 22 July 2025

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan telah menyelesaikan penelitian lapangan komprehensif untuk menganalisis fenomena intrusi air laut terhadap kualitas air tanah di wilayah pesisir Kabupaten Pemalang. Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang berlangsung pada tanggal 14–17 Juli 2025 ini dilakukan melalui pengambilan data di empat kecamatan strategis yakni Kecamatan Pemalang, Taman, Petarukan, dan Ulujami, yang merepresentasikan karakteristik beragam wilayah pesisir Kabupaten Pemalang.

[sangar-slider id=”1727″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Intrusi air laut merupakan salah satu ancaman tersembunyi yang mengancam keberlanjutan sumber daya air di wilayah pesisir Indonesia. Air tanah di kawasan pesisir memiliki fungsi vital dalam menunjang kebutuhan hidup masyarakat, namun masuknya air laut ke dalam lapisan air tanah dapat secara signifikan menurunkan kualitas air dan membahayakan kesehatan serta ketahanan air masyarakat pesisir. Permasalahan ini diperparah oleh aktivitas antropogenik seperti eksploitasi air tanah secara berlebihan, perubahan tata guna lahan, dan tekanan pembangunan di wilayah pesisir. “Penelitian ini menjadi langkah awal untuk memahami krisis tersembunyi di bawah tanah, air bersih yang perlahan tercemar oleh laut,” ungkap Koordinator Tim Peneliti, menekankan urgensi kajian ilmiah yang mendalam untuk memahami dinamika hidrogeologis di wilayah pesisir.

Metodologi penelitian yang diterapkan menggunakan pendekatan scientific yang terstruktur melalui pengukuran kualitas air dengan pengambilan sampel dari sumur gali dan sumur bor menggunakan alat Water Checker Multiparameter untuk mengukur parameter kunci seperti salinitas, Total Dissolved Solids (TDS), Daya Hantar Listrik (DHL), dan pH, serta penggunaan GPS untuk dokumentasi spasial yang akurat. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola sebaran dan tingkat keparahan intrusi air laut serta mengkaji dampak intrusi terhadap kualitas air tanah di wilayah pesisir Kabupaten Pemalang. “Kondisi lapangan menunjukkan variasi signifikan dalam kualitas air tanah, yang mencerminkan besarnya tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir,” ujar salah satu anggota tim peneliti. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran ilmiah mengenai kondisi aktual air tanah di wilayah pesisir serta menjadi dasar rekomendasi kebijakan pengelolaan air yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan masyarakat, termasuk menyediakan informasi awal tentang potensi pencemaran air tanah akibat intrusi air laut dan memberikan rekomendasi pemanfaatan air bersih secara berkelanjutan di daerah pesisir.

Kegiatan penelitian ini secara langsung berkontribusi terhadap pencapaian beberapa tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 mengenai Clean Water and Sanitation melalui upaya memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan untuk semua, serta SDG 14 tentang Life Below Water dalam konteks perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir. Penelitian ini juga mendukung SDG 13 Climate Action melalui upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada sumber daya air pesisir. “Kami berharap hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk kebijakan perlindungan sumber daya air yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Penulis: Tim KKL

Analisis Multibahaya untuk Mengetahui Tingkat Kerentanan Pesisir Kabupaten Pemalang

Berita Tuesday, 22 July 2025

Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bertema coastal resilience di Kabupaten Pemalang pada tanggal 14-17 Juli 2025. Sebagian daerah Pemalang yang berada di Pantai Utara Jawa mengalami perkembangan yang sangat masif namun terancam oleh fenomena perubahan iklim. Berbeda dengan wilayah pesisir lainnya seperti Semarang, Demak, atau Jakarta yang telah menjadi perhatian publik, Pemalang belum menjadi wilayah prioritas untuk upaya mitigasi meskipun dampak bencana pesisir sudah sangat dirasakan masyarakat setempat.

[sangar-slider id=”1687″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Dari perspektif fisik, penelitian ini menggunakan metode Coastal Hazard Wheel (CHW), sebuah sistem klasifikasi standar yang dikembangkan oleh Roshendal Applequist bersama UNEP untuk menilai bahaya yang dihadapi wilayah pesisir akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Penelitian dilakukan sepanjang pesisir Pemalang yang berbatasan langsung dengan Pantai Utara Jawa, meliputi Kecamatan Ulujami, Petarukan, Taman, dan Pemalang dengan panjang garis pantai mencapai 45,16 km. Enam parameter biogeofisik menjadi fokus utama analisis, yaitu bentuklahan atau tata letak geologi, gelombang, pasang surut, keberadaan flora (mangrove atau vegetasi lain), imbangan sedimen, dan storm climate. Tujuan utama penelitian adalah menganalisis tingkat multibahaya di pesisir Kabupaten Pemalang serta merumuskan rekomendasi upaya pengelolaannya.

Hasil sementara menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan di pesisir Pemalang. Analisis menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki ancaman bahaya disrupsi ekosistem dan inundasi pada tingkat sedang hingga sangat tinggi, bahaya erosi rendah hingga tinggi, serta bahaya intrusi dan banjir rob sedang hingga tinggi. Kondisi ini diperkuat oleh fakta bahwa garis pantai di beberapa wilayah pesisir seperti Pantai Kramatsari Blendung, Pantai Ketapang, Pantai Kertosari, dan Pantai Kaliprau sudah mulai hilang akibat bencana rob pada bulan Mei lalu. Data dari BPBD Kabupaten Pemalang mencatat terdapat 8 kecamatan yang masuk daerah rawan banjir, dengan empat di antaranya terletak di pesisir dengan total luas daerah rawan banjir mencapai 27.387,34 Ha. Dampak banjir rob yang terjadi di akhir Mei 2025 sangat parah, berdasarkan keterangan dari Ketua BUMDES Kertosari, Bapak Subhi, menyampaikan bahwa 50% wilayah Desa Kertosari terendam yang terdiri dari 30% area kebun/sawah/tambak dan 20% permukiman. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan dialami Desa Blendung yang menurut Pak Waryono, pembina Koperasi Perikanan Darat, mengalami genangan 100% saat banjir rob tersebut.

Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, tim peneliti berkoordinasi dengan beberapa OPD di Kabupaten Pemalang yaitu BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga, BAPPEDA, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, serta Cabang Dinas Kehutanan V. Mengingat pengelolaan sebagian wilayah pesisir dan laut menjadi kewenangan provinsi, tim juga berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang memberikan dukungan penuh dalam kegiatan ini berupa penyediaan data, informasi, dan dokumen untuk menunjang analisis seperti data kejadian bencana, dokumen tata ruang, kajian risiko bencana, dokumen rencana kinerja, dokumen rencana strategi, hingga dokumen laporan realisasi kegiatan, serta dokumen, data, dan informasi lain yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir di Kabupaten Pemalang.

Kegiatan KKL ini sejalan dengan beberapa Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 13 (Climate Action) dengan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap wilayah pesisir, SDG 14 (Life Below Water) dalam konteks pelestarian ekosistem pesisir dan laut, serta SDG 15 (Life on Land) melalui perlindungan ekosistem darat di zona pesisir. Sehingga, penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan awal bagi masyarakat untuk mulai melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang diperlukan, serta menjadi dasar penyusunan program dan kebijakan mitigasi pesisir bagi pemerintah daerah dan pusat. Sebagaimana disampaikan Pak Waryono, pembina Koperasi Perikanan Darat Desa Blendung, hasil penelitian ini diharapkan dapat dibawa kepada pemerintah sehingga dapat lebih memperhatikan kondisi pesisir Pemalang dan membantu masyarakat melakukan upaya-upaya pengurangan dampak bencana.

Penulis: Tim KKL

Mengungkap Dampak Perubahan Lingkungan terhadap Kehidupan Masyarakat Pesisir Pemalang

Berita Monday, 21 July 2025

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dengan tema “Coastal Resilience” di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Melalui perspektif sosial, penelitian ini fokus pada analisis persepsi masyarakat pesisir terhadap permasalahan lingkungan dan dampaknya terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat di 16 desa yang tersebar di empat kecamatan, yakni Kecamatan Pemalang, Kecamatan Taman, Kecamatan Petarukan, dan Kecamatan Ulujami.

[sangar-slider id=”1677″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan teknik pengumpulan data melalui skala Likert untuk mengukur persepsi masyarakat. Temuan awal menunjukkan adanya peningkatan frekuensi banjir rob dan gelombang pasang di kawasan pesisir Pemalang dalam beberapa tahun terakhir. Data pendukung dari Dinas Kelautan dan Perikanan Pemalang menunjukkan bahwa sekitar 55% masyarakat pesisir bekerja di sektor perikanan, sementara data BPS Kabupaten Pemalang 2023 mencatat sekitar 18% total penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dengan sebagian besar tinggal di daerah pesisir. Observasi lapangan mengungkapkan bahwa dari keempat kecamatan, Kecamatan Ulujami merupakan kecamatan yang menunjukkan tingkat persepsi tertinggi terhadap semua isu pesisir, diantaranya adalah kerusakan infrastruktur, rumah, dan lahan pertanian akibat banjir rob, penurunan kualitas air dan lahan pertanian, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat akibat permasalahan lingkungan pesisir.

“Penelitian ini memberikan pemahaman lebih dalam mengenai kondisi lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat, sehingga kita bisa memastikan bahwa kondisi lingkungan sosial dan ekonomi masyarakat masih bisa diupayakan menjadi lebih baik meski alam terus berubah dan tidak bisa dikendalikan,” ujar Annisa Nabila Ramdini selaku koordinator dari Minat Sosial. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk pengelolaan lingkungan sosial pesisir yang lebih baik dan menjadi dasar acuan bagi Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih efektif, terutama untuk kawasan pesisir. Dampak jangka panjang penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan memperkuat ketahanan sosial serta ekonomi masyarakat pesisir di Pemalang.

Kegiatan Kuliah Kerja Lapang ini secara langsung mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 13 (Climate Action) melalui analisis dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir, dan SDG 15 (Life on Land) dengan kajian pengelolaan lingkungan pesisir yang berkelanjutan. Penelitian ini juga berkontribusi pada SDG 17 (Partnerships for the Goals) melalui kolaborasi dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang yang memberikan dukungan penuh dalam bentuk akses data dan fasilitas penelitian untuk mendukung kelancaran penelitian di lapangan.

Penulis: Tim KKL

Kuliah Kerja Lapangan 2025: Menguak Kompleksitas Tantangan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Pemalang melalui Pendekatan Multidisiplin

BeritaFlash Monday, 21 July 2025

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) komprehensif bertema “Coastal Resilience” di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, pada tanggal 14-18 Juli 2025. Kegiatan ini melibatkan pendekatan multidisiplin untuk menganalisis berbagai aspek lingkungan pesisir yang mencakup dimensi sosial, fisik, dan biotik di wilayah yang tersebar di empat kecamatan strategis yaitu Kecamatan Pemalang, Taman, Petarukan, dan Ulujami.

Hasil penelitian komprehensif dari kelima minat menunjukkan kompleksitas tantangan pesisir Kabupaten Pemalang yang saling berkaitan. Minat Sosial mengungkapkan bahwa Kecamatan Ulujami merupakan kecamatan yang menunjukkan tingkat persepsi tertinggi terhadap semua isu pesisir, diantaranya adalah kerusakan infrastruktur, rumah, dan lahan pertanian akibat banjir rob, penurunan kualitas air dan lahan pertanian, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat akibat permasalahan lingkungan pesisir. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Sosial)

Pada aspek lain, Minat Coastal Hazard Wheel mengidentifikasi tingkat kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap disrupsi ekosistem, inundasi, erosi, dan intrusi air laut, yang dikonfirmasi dengan kejadian banjir rob Mei 2025 yang menyebabkan 50% wilayah Desa Kertosari dan 100% Desa Blendung terendam. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Coastal Hazard Wheel)

Penelitian intrusi air laut mengungkap ancaman tersembunyi terhadap kualitas air tanah yang menunjukkan variasi signifikan kualitas air tanah akibat masuknya air laut ke dalam lapisan akuifer. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Intrusi)

Sementara itu, hasil pengamatan dari Minat Clean Coastal Index (CCI) menunjukkan bahwa Pantai Widuri memiliki kepadatan sampah makro (Sampah dengan ukuran lebih besar dari 25 mm) lebih tinggi karena aktivitas wisata yang intensif dengan 143 sampah plastik dari total 174 item, sementara Pantai Joko Tingkir didominasi sampah meso (Sampah dengan ukuran antara 5 mm hingga 25 mm) akibat aliran Sungai Comal. KEE Mojo sebagai kawasan konservasi menghadapi tekanan ganda dari akumulasi sampah laut dan darat yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Clean Coastal Index)

Melalui perspektif lain, Tim Minat Biotik menemukan bahwa Ekosistem Mangrove Mojo memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 55,73 ton C/ha yang didominasi Avicennia marina dan Rhizophora mucronata, namun menghadapi tekanan dari alih fungsi lahan menjadi tambak udang vaname yang menyebabkan kematian pohon mangrove di zona kritis. Temuan ini menunjukkan bahwa pesisir Pemalang menghadapi tekanan berlapis yang memerlukan pendekatan pengelolaan holistik dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan pesisir. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Biotik)

Kegiatan penelitian komprehensif ini melibatkan koordinasi intensif dengan berbagai Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Pemalang termasuk BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, BAPPEDA, dan Cabang Dinas Kehutanan V, serta Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah memberikan dukungan penuh berupa penyediaan data, informasi, dan dokumen penunjang analisis. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal, termasuk keterlibatan Kelompok Pelita Bahari yang dibentuk bersama OISCA, memperkuat upaya perlindungan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pesisir.

Hasil penelitian terintegrasi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi komprehensif untuk pengelolaan lingkungan pesisir yang berkelanjutan dan menjadi dasar acuan bagi Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih efektif. Dampak jangka panjang penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan, memperkuat ketahanan sosial ekonomi masyarakat pesisir, serta menjadi peringatan awal bagi pemerintah daerah untuk mulai melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan tekanan pembangunan di wilayah pesisir.

Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini secara langsung mendukung pencapaian beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pendekatan holistik. SDG 6 (Clean Water and Sanitation) didukung melalui upaya memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih berkelanjutan dengan analisis intrusi air laut. SDG 13 (Climate Action) diimplementasikan melalui analisis dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir dan identifikasi potensi penyerapan karbon mangrove sebagai solusi berbasis alam. SDG 14 (Life Below Water) diperkuat melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir serta pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut. SDG 15 (Life on Land) didukung melalui kajian pengelolaan lingkungan pesisir berkelanjutan dan perlindungan ekosistem darat di zona pesisir. Terakhir, SDG 17 (Partnerships for the Goals) diimplementasikan melalui kolaborasi komprehensif dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang, berbagai OPD, dan masyarakat lokal yang memberikan dukungan penuh dalam bentuk akses data dan fasilitas penelitian.

Penulis: Tim KKL

Komodo Island: Wawasan Konservasi Reptil Purba Indonesia

BeritaBerita S3 Friday, 11 July 2025

Tim gabungan mahasiswa doktoral dari program studi Ilmu Lingkungan, Ilmu Geografi, dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada melaksanakan studi lapangan komprehensif di Pulau Komodo sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil pada tanggal 1–7 Juli 2025. Ekspedisi ini berfokus untuk memahami status konservasi, ekologi perilaku, dan potensi pariwisata berkelanjutan dari spesies biawak terbesar di dunia yaitu Komodo (Varanus komodoensis).

[sangar-slider id=”1652″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Selama kunjungan di Pulau Komodo, para mahasiswa mendapatkan kesempatan langka bertemu dengan Thomas, Komodo Jantan berusia 20 tahun, dipandu oleh beberapa Ranger Konservasi dari Taman Nasional Komodo yang yang dipimpin oleh Pak Fajar. Kunjungan ini kebetulan dilaksanakan ketika musim kawin Komodo, yaitu sekitar Juni-Juli-Agustus. Komodo adalah spesies biawak penyendiri, tidak suka berpindah-pindah jauh dari daerah teritorialnya, dan hanya bersosialisasi dengan jenisnya ketika musim kawin atau saat berburu mangsa besar.

Dari informasi Pak Fajar, predator purba ini walau tampak dari luar terlihat tenang saat dikelilingi oleh banyak wisatawan, dapat saja bersikap agresif ketika ada gerakan yang tiba-tiba, provokasi yang disengaja seperti menggerakkan benda asing di depannya, atau mencium aroma amis ikan dan darah. Oleh karena itu, setiap lima orang pengunjung akan selalu didampingi oleh satu Ranger terlatih yang membawa tongkat kayu berbentuk huruf Y untuk keamanan terutama bagi yang membawa anak-anak ataupun wanita yang sedang menstruasi. Pak Fajar juga mengungkap fakta menarik, bahwa bukti rekam fosil menunjukkan biawak introvert ini memiliki garis keturunan genetik dari benua Australia yang kemudian berevolusi dan merantau ke arah Barat hingga tiba di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia.

Menurut Fizul Surya Pribadi, salah satu kandidat doktoral ilmu lingkungan, yang menyaksikan Thomas, si Komodo yang kalem dan misterius di habitat aslinya, adalah pengalaman yang merendahkan hati dan membuka wawasan ilmiah. Kenapa? Secara global, biawak Komodo ini termasuk spesies yang terancam punah dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature). Populasi Komodo saat ini semakin sedikit dan keberadaan mangsa besar untuk diburu, seperti rusa, juga terbatas. Hanya 15% wilayah habitat Komodo di Flores yang masuk dalam Kawasan lindung, sementara sisanya telah didominasi oleh aktivitas manusia serta persaingan predasi dengan anjing liar.

“Bayangkan jika makhluk megah peninggalan dari masa purbakala ini punah dan hanya menjadi sosok mitos di buku sejarah di masa depan?” Ungkap Fizul. Apakah membiarkannya hidup secara alami sudah cukup? Di sini, manusia memiliki peran penting sebagai pelaku konservasi. Selain itu, mengungkap rahasia kehidupan kadal raksasa yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu ini akan sangat menarik, contohnya bagaimana spesies ini bisa beradaptasi dan bertahan hidup di tengah perubahan lansekap bumi selama jutaan tahun. Ini artinya, biawak Komodo adalah spesies kunci atau penghubung kehidupan sekarang dengan masa lalu. Mempelajari strategi bertahan hidup dan adaptasi genetik dari Komodo dapat menjadi peluang bagi para ilmuwan saat ini untuk untuk melindungi spesies lain yang terancam oleh perubahan iklim dan hilangnya habitat.

Berbagai studi ilmiah telah banyak dilakukan. Taman Nasional Komodo bekerjasama dengan tim peneliti Komodo Survival Program telah lama mengkaji tentang reproduksi dan pertumbuhan Komodo dalam iklim tropis, pola perilaku bersarang, pemantauan populasi Komodo secara berkelanjutan dengan metode camera trapping, hingga estimasi populasi spesies mangsa Komodo.  Penelitian jangka panjang ini memberikan basis data yang objektif dan komprehensif untuk menentukan strategi konservasi yang tepat dan arah penelitian di masa mendatang.

Ekspedisi ini juga menyoroti hubungan kompleks antara upaya konservasi dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penduduk lokal, kendati sektor pariwisata menyediakan modal yang penting untuk program konservasi dan komunitas lokal, tim ekspedisi menemukan bahwa masyarakat lokal belum tentu menerima manfaat yang pantas untuk objek wisata yang telah ditetapkan menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia sejak tahun 2011. Masih banyak kapal wisata yang beroperasi di perairan Kepulauan Sunda Kecil ini dimiliki oleh pihak luar, bukan warga lokal, sehingga terjadi kebocoran manfaat ekonomi yang seharusnya mendukung konservasi dan pembangunan komunitas lokal. Ini menjadi catatan bagi pemerintah, peneliti, maupun stakeholder lokal untuk pengembangan model ekowisata berbasis komunitas sekaligus bersinergi dengan berbagai pihak untuk melindungi ekosistem Taman Nasional Komodo dan kelestarian hayati spesies-spesies langka di dalamnya.

Kegiatan ekspedisi ini secara langsung mendukung beberapa poin dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pertama, poin SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, karena penelitian terhadap adaptasi ekologis Komodo memberi wawasan tentang bagaimana spesies bertahan dalam kondisi iklim ekstrem selama jutaan tahun, yang relevan untuk strategi mitigasi perubahan iklim masa kini. Kedua, SDG 15: Ekosistem Daratan, karena upaya konservasi Komodo berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan pemulihan habitat alaminya. Ketiga, SDG 14: Ekosistem Lautan, terutama terkait perlindungan kawasan pesisir dan laut di sekitar Taman Nasional Komodo dari eksploitasi wisata yang tidak berkelanjutan. Keempat, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, melalui pengembangan ekowisata berbasis komunitas lokal sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan dan inklusif. Terakhir, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, yang tercermin dari kolaborasi antara universitas, pemerintah, ranger konservasi, dan masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian spesies Komodo sebagai warisan dunia.

Penulis: Nida Humaida

Editor: Ulyn N

Labuan Bajo: Kekayaan Bawah Laut dan Eksplorasi Ekologi Pulau-Pulau Kecil Tropis

BeritaBerita S3 Thursday, 10 July 2025

Rangkaian kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan berlanjut ke beberapa pulau dalam Gugusan Kepulauan Sunda Kecil. Kegiatan ini dilaksanakan pada 4-6 Juli 2025 yang bertujuan untuk identifikasi dan pemetaan potensi ekosistem laut dan daratan kecil tropis. Penelitian ini melibatkan pendekatan terpadu dalam menganalisis sumber daya abiotik, biotik, serta unsur budaya lokal. Ekspedisi dilakukan menggunakan kapal dengan dukungan enumerator lokal Akbar dan Amir, yang memiliki pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial-ekologis wilayah tersebut.

[sangar-slider id=”1638″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Pulau Sebayur menjadi titik awal observasi dan segera menunjukkan potensi tinggi dalam konteks konservasi. Pulau ini memiliki terumbu karang dan komunitas ikan yang masih alami, dengan tingkat intervensi manusia yang sangat minim karena tidak berpenghuni. Kondisi ini menjadikannya lokasi ideal untuk studi baseline ekosistem laut tropis. Menurut Susi Nurweni, salah satu Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan, keindahan terumbu karang dan pasir putih yang terlihat melalui kegiatan snorkeling memperlihatkan kondisi ekologis yang sehat, jarang ditemukan di wilayah yang terpapar tekanan wisata intensif.

Tim tidak dapat mengunjungi Pulau Manta karena arus laut yang tinggi saat itu. Keputusan untuk mengalihkan kegiatan ke lokasi lain menjadi contoh penerapan prinsip keselamatan berbasis kondisi oceanografis. Alternatif pengamatan dilakukan di Pulau Taka Makassar, sebuah pulau pasir yang hanya muncul saat air laut surut. Fenomena geomorfologis ini menunjukkan dinamika ekosistem pesisir yang khas. Keindahan pasir putih dan kejernihan air laut menjadikan pulau ini destinasi wisata favorit, namun juga mengindikasikan kebutuhan akan pengelolaan berbasis daya dukung lingkungan.

Ekspedisi berlanjut ke Pulau Padar, salah satu ikon visual Taman Nasional Komodo (TNK). Pulau ini menawarkan lanskap karst dengan bukit savana yang telah menjadi destinasi trekking populer. Aktivitas pendakian dimulai sejak pukul 04.00 WITA untuk menyaksikan matahari terbit dari puncak tertinggi. Petugas TNK memberikan edukasi sebelum pendakian mengenai larangan membuang sampah sembarangan, merokok, dan menerbangkan drone tanpa izin. Sayangnya, pembangunan pelabuhan dan fasilitas lain di kawasan ini mulai menunjukkan adanya tekanan antropogenik, terutama dari aktivitas wisata yang tidak sepenuhnya dikendalikan. Minimnya fasilitas pengelolaan sampah memperlihatkan urgensi peningkatan infrastruktur dasar berbasis konservasi.

Di sisi barat Pulau Padar, terdapat Pink Beach, yang dikenal karena pasirnya yang berwarna merah muda. Warna ini dihasilkan oleh serpihan mikroorganisme laut seperti kerang foraminifera yang berwarna merah. Pantai ini sangat menarik sebagai objek fotografi dan geowisata, tetapi peningkatan kunjungan wisatawan tanpa pengaturan yang memadai berpotensi mengikis daya dukung ekologisnya. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk menyusun strategi wisata berkelanjutan yang dapat melindungi keunikan geologis ini.

Pulau Komodo, sebagai habitat utama bagi satwa endemik Varanus komodoensis, menyuguhkan interaksi menarik antara komponen abiotik seperti batuan karst dan suhu tinggi, dengan vegetasi sabana dan kehidupan satwa liar. Sebelum tracking dilakukan, petugas memberikan edukasi mengenai sejarah keberadaan Komodo serta kaitannya dengan budaya masyarakat setempat. Seorang ranger menjelaskan bahwa legenda leluhur menyebutkan komodo dan manusia sebagai saudara kembar, mencerminkan hubungan ekologis dan spiritual yang mendalam antara masyarakat dan alam. Tim beruntung dapat mengamati seekor Komodo jantan bernama Thomas, yang menjadi fokus observasi perilaku makan, aktivitas harian, dan periode reproduksi yang biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus. Kawasan pesisir Pulau Komodo telah dihuni oleh masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari perikanan, pertanian kecil, dan pariwisata. Model pariwisata yang berkembang lebih sesuai dengan pendekatan ekowisata berbasis masyarakat daripada pariwisata massal yang eksploitatif.

Ekspedisi kemudian menuju Pulau Kalong, dinamakan demikian karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar besar atau kalong. Fenomena lepas landas koloni kalong pada sore hingga malam hari menjadi pengalaman ekologi yang menarik. Amir, salah satu enumerator lokal, menjelaskan bahwa jenis kalong yang ada belum diteliti secara spesifik, meskipun secara morfologi mereka tergolong dalam famili Pteropodidae dan subordo Megachiroptera. Ukuran tubuh yang besar mengindikasikan pentingnya pulau ini sebagai habitat kelelawar buah, yang berperan dalam penyerbukan dan penyebaran biji di ekosistem kepulauan.

Pulau terakhir dalam ekspedisi ini adalah Pulau Kelor, yang menyuguhkan perpaduan antara pantai berpasir putih, perairan tenang, dan jalur pendakian yang memberikan panorama spektakuler dari ketinggian. Vegetasi savana mendominasi area pulau, serupa dengan Pulau Padar, dan menjadi indikator penting dalam memahami interaksi antara kondisi abiotik, komposisi vegetasi, serta pengaruh aktivitas wisatawan terhadap bentang alam.

Seluruh rangkaian kegiatan ini tidak hanya menghasilkan data ilmiah untuk kepentingan konservasi, tetapi juga memperkuat praktik wisata berkelanjutan berbasis pengetahuan lokal dan keterlibatan komunitas. Ekspedisi ini menunjukkan bahwa konservasi tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ekologis yang komprehensif serta integrasi nilai-nilai sosial dan budaya lokal sebagai bagian dari strategi pelestarian jangka panjang.

Lebih dari sekadar eksplorasi ilmiah, kegiatan ini memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks ini, ekspedisi mendukung SDG 14 (Life Below Water) dengan melakukan pemantauan kondisi ekosistem laut dan habitat karang. Kemudian, SDG 15 (Life on Land) tercermin dalam kajian keanekaragaman hayati daratan kecil dan perlindungan spesies endemik seperti Komodo. Kegiatan ini juga mendukung SDG 13 (Climate Action) melalui adaptasi lapangan terhadap perubahan kondisi alam, serta memperkuat pengelolaan risiko bencana ekologis. Dalam dimensi sosial, kegiatan ini sejalan dengan SDG 11 (Sustainable Cities and Communities) karena mengusung pendekatan ekowisata berbasis masyarakat, serta mendukung SDG 4 (Quality Education) dengan melibatkan edukasi lapangan, penyuluhan, dan pemahaman lintas disiplin yang diberikan kepada wisatawan, komunitas lokal, dan pihak pengelola kawasan.

Dengan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan adaptif, ekspedisi ini diharapkan menjadi dasar pengambilan kebijakan berbasis data dalam pengelolaan kawasan Labuan Bajo sebagai wilayah konservasi prioritas dan laboratorium hidup (living laboratory) untuk penelitian keberlanjutan di wilayah pesisir Indonesia.

Penulis: Williem dan Tim

123
Universitas Gadjah Mada

Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Jl. Teknika Utara, Pogung, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55284
Telp. (+62) 858-6655-3174
Email: ilmulingkungan.pasca@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY