
Sabtu, 26 April 2025, sebanyak sembilan mahasiswa Program Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) mengikuti kegiatan kuliah lapangan di Situs Song Terus, Museum Song Terus, dan Gua Tabuhan, Pacitan, Jawa Timur. Kegiatan ini merupakan bagian dari mata kuliah Lingkungan Budaya yang diampu oleh Dr. Dra. Niken Wirasanti, M.Si.
Kuliah lapangan ini bertujuan memperdalam pemahaman mahasiswa tentang hubungan manusia prasejarah dengan lingkungan alamnya, serta bagaimana adaptasi budaya awal membentuk lingkungan hunian. Observasi langsung dilakukan mulai pukul 09.00 hingga 14.00 WIB, didampingi oleh edukator dari Museum Song Terus, Anjar Laksita, serta staf teknis, Tulus Wahyudi.
(Dokumentasi Kegiatan)
Di Museum Song Terus, mahasiswa mendapatkan pemaparan mengenai proses penelitian arkeologi yang telah berlangsung sejak tahun 1950. Salah satu ikon menarik di museum ini adalah representasi DNA berbentuk double helix, yang menggambarkan keragaman ras manusia — yakni ras Mongoloid dan Austromelanesoid — yang pernah menghuni kawasan tersebut. Berbagai temuan penting, seperti rangka manusia prasejarah “Mbah Sayem”, alat-alat batu, sisa makanan, hingga lapisan tanah yang merekam perubahan iklim dan budaya sejak lebih dari 300.000 tahun silam, menjadi bahan diskusi mendalam. Seluruh artefak yang dipamerkan merupakan koleksi asli hasil penelitian, dengan pengawasan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) XI Provinsi Jawa Timur serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Selain mengunjungi museum, mahasiswa juga mengkaji langsung kondisi Gua Song Terus, yang juga dikenal dengan nama “Song” atau “Goa Terus.” Gua ini merupakan gua aktif sepanjang sekitar 70 meter yang menembus dua sisi dan menunjukkan jejak hunian awal Homo sapiens. Song Terus telah menjadi lokasi penting dalam penelitian arkeologi sejak tahun 1950, dengan penelitian awal dilakukan oleh Prof. Suyono melalui pembukaan uji coba galian (test pit). Pada tahun 1990, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melanjutkan eksplorasi ini melalui kerja sama dengan Muséum National d’Histoire Naturelle (MNHN) dari Prancis, di bawah kepemimpinan Prof. Truman Simanjuntak dan Prof. François Sémah. Kolaborasi penelitian ini berlangsung hingga tahun 2019, memperkaya pemahaman kita tentang adaptasi manusia purba terhadap lingkungan Karst Gunung Sewu.
Kunjungan kemudian dilanjutkan ke Gua Tabuhan, sebuah gua dengan lorong mendatar sepanjang 105 meter yang terkenal dengan stalaktit-stalaktitnya yang mampu menghasilkan bunyi menyerupai gamelan. Secara arkeologis, gua ini juga penting karena pernah menjadi tempat tinggal manusia prasejarah, sebagaimana dibuktikan dari temuan tulang vertebrata dan artefak batu oleh Van Heekeren pada tahun 1955.
Dalam pesannya, Dr. Dra. Niken Wirasanti, M.Si., menyampaikan, “Pengetahuan tentang awal kehidupan manusia beradaptasi dengan alam, membangun dan menyesuaikan lingkungan alam menjadi lingkungan hunian melalui budaya — produk alat yang sangat sederhana, kemampuan membuat api — adalah fondasi penting. Dari sinilah teknologi terus berkembang hingga masa bercocok tanam sederhana.”
Beliau juga menambahkan, “Saya berharap respon mahasiswa selama kuliah lapangan ini positif, sehingga pengetahuan tentang lingkungan budaya di masa-masa awal kehidupan manusia menjadi semakin lengkap. Belajarlah lebih banyak dengan melihat, mengamati, dan mengunjungi langsung lapangan untuk melengkapi teori yang telah diperoleh di kampus.”
Koordinator kuliah lapangan, Naufal Hasani, turut membagikan kesannya, “Melihat langsung bagaimana Homo sapiens membangun realitas dan pola-pola perilaku dari bukti sejarah yang ada membuka perspektif kami. Melalui bukti sejarah tersebut, kami memahami lingkungan budaya sebagai keseluruhan cara hidup manusia yang diwariskan dari generasi ke generasi.”
Kegiatan ini juga sejalan dengan upaya mendukung Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan nomor 4 (Quality Education), 11 (Sustainable Cities and Communities), 13 (Climate Action), dan 15 (Life on Land). Melalui pembelajaran berbasis lapangan, mahasiswa mendapatkan pendidikan berkualitas yang menghubungkan teori dengan realitas lingkungan dan budaya (SDG 4). Pemahaman tentang pentingnya konservasi situs budaya dan alam berkontribusi terhadap pelestarian warisan budaya dan pembangunan komunitas berkelanjutan (SDG 11). Selain itu, pengenalan terhadap perubahan iklim yang terekam dalam lapisan tanah prasejarah meningkatkan kesadaran tentang aksi perubahan iklim (SDG 13), serta mendorong perlindungan ekosistem karst dan keanekaragaman hayati di darat (SDG 15).
Kuliah lapangan ini memperkaya pengalaman akademik mahasiswa serta memperkuat apresiasi terhadap pentingnya konservasi situs-situs budaya dan alam sebagai bagian dari warisan sejarah Indonesia.
Penulis: Naufal Hasani & Sisna Delvita
Foto: Naufal Hasani, Aurel Fernanda, & Januanto