
Tim Minat Biotik dari Program Magister Ilmu Lingkungan melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Mangrove Mojo, Kabupaten Pemalang dengan menganalisis struktur komunitas mangrove, mengukur stok karbon, serta menilai parameter lingkungan yang mempengaruhi ekosistem mangrove di kawasan yang telah ditetapkan sebagai role model pengelolaan mangrove berbasis kolaborasi di Indonesia.
(Dokumentasi Kegiatan)
Berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan oleh Renta et al. (2016), Avicennia marina mendominasi tingkat pohon dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 153,24, sedangkan Rhizophora mucronata mendominasi tingkat anakan dengan INP 171,40. Kawasan ini memiliki kapasitas penyerapan karbon yang signifikan dengan estimasi simpanan karbon biomassa sebesar 21,55–144,22 ton C/ha dan karbon sedimen 98,45–181,06 ton C/ha, dengan rata-rata total simpanan karbon mencapai 155,13 ton C/ha. Temuan ini menjadikan hutan mangrove Mojo sebagai salah satu solusi alami paling efektif dalam menahan emisi gas rumah kaca.
Observasi lapangan mengungkap kondisi ekosistem terkini yang menunjukkan hasil kanopi lebat, pohon sehat dengan daun hijau gelap, dan sistem akar yang kuat. Kehadiran burung migran dan ikan gelodok (mudskipper) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove berperan sebagai habitat penting bagi keanekaragaman hayati yang lebih luas. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai total cadangan karbon pada kawasan mangrove Desa Mojo sebesar 55.73 ton C/ha. Namun demikian, hasil observasi juga mengidentifikasi adanya transisi zona kritis dengan area pohon mangrove mati dan mengering yang diduga merupakan akibat dari abrasi dan penurunan muka tanah yang disebabkan oleh maraknya alih fungsi lahan menjadi tambak udang vaname yang membutuhkan air tawar dalam proses budidayanya. Dibandingkan dengan desa sekitar seperti Pesantren dan Limbangan, Mojo memiliki rasio tambak terhadap mangrove yang lebih rendah (14,47%), menunjukkan tekanan lahan yang relatif ringan dan potensi keberhasilan rehabilitasi yang lebih tinggi (Fatmawati et al., 2016).
Kegiatan KKL ini secara langsung mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 14 (Life below Water) melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir, serta SDG 13 (Climate Action) dengan mengidentifikasi potensi penyerapan karbon mangrove sebagai solusi berbasis alam. Melalui pendekatan ilmiah yang terintegrasi dengan keterlibatan masyarakat lokal, termasuk kelompok Pelita Bahari yang dibentuk bersama OISCA, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah signifikan dalam mendukung strategi konservasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. “Saat ini kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ekosistem mangrove telah menunjukkan peningkatan, harapannya semoga pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai penambak baik ikan bandeng maupun udang vaname dapat beriringan dengan upaya pelestarian lingkungan,” ujar Bapak Tolani selaku Ketua Kelompok Pelita Bahari. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal ini memperkuat upaya perlindungan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.
“Selama melakukan penelitian melalui program kuliah kerja lapangan di kawasan ekosistem esensial mangrove Desa Mojo, Kabupaten Pemalang, kami menyaksikan secara langsung bagaimana hutan mangrove menjadi benteng alami bagi pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa” ujar Tim Minat Biotik. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan ekosistem merupakan suatu hal yang krusial untuk dilakukan, khususnya dalam konteks krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan tekanan pembangunan.
Penulis: Tim KKL