
Rangkaian kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan berlanjut ke beberapa pulau dalam Gugusan Kepulauan Sunda Kecil. Kegiatan ini dilaksanakan pada 4-6 Juli 2025 yang bertujuan untuk identifikasi dan pemetaan potensi ekosistem laut dan daratan kecil tropis. Penelitian ini melibatkan pendekatan terpadu dalam menganalisis sumber daya abiotik, biotik, serta unsur budaya lokal. Ekspedisi dilakukan menggunakan kapal dengan dukungan enumerator lokal Akbar dan Amir, yang memiliki pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial-ekologis wilayah tersebut.
(Dokumentasi Kegiatan)
Pulau Sebayur menjadi titik awal observasi dan segera menunjukkan potensi tinggi dalam konteks konservasi. Pulau ini memiliki terumbu karang dan komunitas ikan yang masih alami, dengan tingkat intervensi manusia yang sangat minim karena tidak berpenghuni. Kondisi ini menjadikannya lokasi ideal untuk studi baseline ekosistem laut tropis. Menurut Susi Nurweni, salah satu Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan, keindahan terumbu karang dan pasir putih yang terlihat melalui kegiatan snorkeling memperlihatkan kondisi ekologis yang sehat, jarang ditemukan di wilayah yang terpapar tekanan wisata intensif.
Tim tidak dapat mengunjungi Pulau Manta karena arus laut yang tinggi saat itu. Keputusan untuk mengalihkan kegiatan ke lokasi lain menjadi contoh penerapan prinsip keselamatan berbasis kondisi oceanografis. Alternatif pengamatan dilakukan di Pulau Taka Makassar, sebuah pulau pasir yang hanya muncul saat air laut surut. Fenomena geomorfologis ini menunjukkan dinamika ekosistem pesisir yang khas. Keindahan pasir putih dan kejernihan air laut menjadikan pulau ini destinasi wisata favorit, namun juga mengindikasikan kebutuhan akan pengelolaan berbasis daya dukung lingkungan.
Ekspedisi berlanjut ke Pulau Padar, salah satu ikon visual Taman Nasional Komodo (TNK). Pulau ini menawarkan lanskap karst dengan bukit savana yang telah menjadi destinasi trekking populer. Aktivitas pendakian dimulai sejak pukul 04.00 WITA untuk menyaksikan matahari terbit dari puncak tertinggi. Petugas TNK memberikan edukasi sebelum pendakian mengenai larangan membuang sampah sembarangan, merokok, dan menerbangkan drone tanpa izin. Sayangnya, pembangunan pelabuhan dan fasilitas lain di kawasan ini mulai menunjukkan adanya tekanan antropogenik, terutama dari aktivitas wisata yang tidak sepenuhnya dikendalikan. Minimnya fasilitas pengelolaan sampah memperlihatkan urgensi peningkatan infrastruktur dasar berbasis konservasi.
Di sisi barat Pulau Padar, terdapat Pink Beach, yang dikenal karena pasirnya yang berwarna merah muda. Warna ini dihasilkan oleh serpihan mikroorganisme laut seperti kerang foraminifera yang berwarna merah. Pantai ini sangat menarik sebagai objek fotografi dan geowisata, tetapi peningkatan kunjungan wisatawan tanpa pengaturan yang memadai berpotensi mengikis daya dukung ekologisnya. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk menyusun strategi wisata berkelanjutan yang dapat melindungi keunikan geologis ini.
Pulau Komodo, sebagai habitat utama bagi satwa endemik Varanus komodoensis, menyuguhkan interaksi menarik antara komponen abiotik seperti batuan karst dan suhu tinggi, dengan vegetasi sabana dan kehidupan satwa liar. Sebelum tracking dilakukan, petugas memberikan edukasi mengenai sejarah keberadaan Komodo serta kaitannya dengan budaya masyarakat setempat. Seorang ranger menjelaskan bahwa legenda leluhur menyebutkan komodo dan manusia sebagai saudara kembar, mencerminkan hubungan ekologis dan spiritual yang mendalam antara masyarakat dan alam. Tim beruntung dapat mengamati seekor Komodo jantan bernama Thomas, yang menjadi fokus observasi perilaku makan, aktivitas harian, dan periode reproduksi yang biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus. Kawasan pesisir Pulau Komodo telah dihuni oleh masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari perikanan, pertanian kecil, dan pariwisata. Model pariwisata yang berkembang lebih sesuai dengan pendekatan ekowisata berbasis masyarakat daripada pariwisata massal yang eksploitatif.
Ekspedisi kemudian menuju Pulau Kalong, dinamakan demikian karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar besar atau kalong. Fenomena lepas landas koloni kalong pada sore hingga malam hari menjadi pengalaman ekologi yang menarik. Amir, salah satu enumerator lokal, menjelaskan bahwa jenis kalong yang ada belum diteliti secara spesifik, meskipun secara morfologi mereka tergolong dalam famili Pteropodidae dan subordo Megachiroptera. Ukuran tubuh yang besar mengindikasikan pentingnya pulau ini sebagai habitat kelelawar buah, yang berperan dalam penyerbukan dan penyebaran biji di ekosistem kepulauan.
Pulau terakhir dalam ekspedisi ini adalah Pulau Kelor, yang menyuguhkan perpaduan antara pantai berpasir putih, perairan tenang, dan jalur pendakian yang memberikan panorama spektakuler dari ketinggian. Vegetasi savana mendominasi area pulau, serupa dengan Pulau Padar, dan menjadi indikator penting dalam memahami interaksi antara kondisi abiotik, komposisi vegetasi, serta pengaruh aktivitas wisatawan terhadap bentang alam.
Seluruh rangkaian kegiatan ini tidak hanya menghasilkan data ilmiah untuk kepentingan konservasi, tetapi juga memperkuat praktik wisata berkelanjutan berbasis pengetahuan lokal dan keterlibatan komunitas. Ekspedisi ini menunjukkan bahwa konservasi tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ekologis yang komprehensif serta integrasi nilai-nilai sosial dan budaya lokal sebagai bagian dari strategi pelestarian jangka panjang.
Lebih dari sekadar eksplorasi ilmiah, kegiatan ini memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks ini, ekspedisi mendukung SDG 14 (Life Below Water) dengan melakukan pemantauan kondisi ekosistem laut dan habitat karang. Kemudian, SDG 15 (Life on Land) tercermin dalam kajian keanekaragaman hayati daratan kecil dan perlindungan spesies endemik seperti Komodo. Kegiatan ini juga mendukung SDG 13 (Climate Action) melalui adaptasi lapangan terhadap perubahan kondisi alam, serta memperkuat pengelolaan risiko bencana ekologis. Dalam dimensi sosial, kegiatan ini sejalan dengan SDG 11 (Sustainable Cities and Communities) karena mengusung pendekatan ekowisata berbasis masyarakat, serta mendukung SDG 4 (Quality Education) dengan melibatkan edukasi lapangan, penyuluhan, dan pemahaman lintas disiplin yang diberikan kepada wisatawan, komunitas lokal, dan pihak pengelola kawasan.
Dengan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan adaptif, ekspedisi ini diharapkan menjadi dasar pengambilan kebijakan berbasis data dalam pengelolaan kawasan Labuan Bajo sebagai wilayah konservasi prioritas dan laboratorium hidup (living laboratory) untuk penelitian keberlanjutan di wilayah pesisir Indonesia.
Penulis: Williem dan Tim