• UGM
  • SPs UGM
  • Library
  • IT Center
  • Webmail
Universitas Gadjah Mada Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan
Universitas Gadjah Mada
  • BERANDA
  • PROGRAM MAGISTER
    • PROFIL
    • PENDAFTARAN
    • KURIKULUM
      • PEMETAAN
      • MATA KULIAH
      • TUGAS AKHIR
    • AKADEMIK
      • KALENDER AKADEMIK
      • LAYANAN AKADEMIK MAHASISWA
      • AKREDITASI PRODI
  • PROGRAM DOKTOR
    • PROFIL
    • PENDAFTARAN
    • KURIKULUM
      • PERKULIAHAN
      • TUGAS AKHIR
    • AKADEMIK
      • KALENDER AKADEMIK DAN JADWAL UJIAN
      • LAYANAN AKADEMIK MAHASISWA
      • AKREDITASI PRODI
    • RISET/PUBLIKASI
  • KONTAK
  • Beranda
  • SDG 14
  • SDG 14
Arsip:

SDG 14

Eksplorasi Potensi Karbon Ekosistem Mangrove Mojo Pemalang

Berita Wednesday, 23 July 2025

Tim Minat Biotik dari Program Magister Ilmu Lingkungan melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Mangrove Mojo, Kabupaten Pemalang dengan menganalisis struktur komunitas mangrove, mengukur stok karbon, serta menilai parameter lingkungan yang mempengaruhi ekosistem mangrove di kawasan yang telah ditetapkan sebagai role model pengelolaan mangrove berbasis kolaborasi di Indonesia.

[sangar-slider id=”1741″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Berdasarkan studi terdahulu yang dilakukan oleh Renta et al. (2016), Avicennia marina mendominasi tingkat pohon dengan Indeks Nilai Penting (INP) sebesar 153,24, sedangkan Rhizophora mucronata mendominasi tingkat anakan dengan INP 171,40. Kawasan ini memiliki kapasitas penyerapan karbon yang signifikan dengan estimasi simpanan karbon biomassa sebesar 21,55–144,22 ton C/ha dan karbon sedimen 98,45–181,06 ton C/ha, dengan rata-rata total simpanan karbon mencapai 155,13 ton C/ha. Temuan ini menjadikan hutan mangrove Mojo sebagai salah satu solusi alami paling efektif dalam menahan emisi gas rumah kaca.

Observasi lapangan mengungkap kondisi ekosistem terkini yang menunjukkan hasil kanopi lebat, pohon sehat dengan daun hijau gelap, dan sistem akar yang kuat. Kehadiran burung migran dan ikan gelodok (mudskipper) menunjukkan bahwa ekosistem mangrove berperan sebagai habitat penting bagi keanekaragaman hayati yang lebih luas. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai total cadangan karbon pada kawasan mangrove Desa Mojo sebesar 55.73 ton C/ha. Namun demikian, hasil observasi juga mengidentifikasi adanya transisi zona kritis dengan area pohon mangrove mati dan mengering yang diduga merupakan akibat dari abrasi dan penurunan muka tanah yang disebabkan oleh maraknya alih fungsi lahan menjadi tambak udang vaname yang membutuhkan air tawar dalam proses budidayanya. Dibandingkan dengan desa sekitar seperti Pesantren dan Limbangan, Mojo memiliki rasio tambak terhadap mangrove yang lebih rendah (14,47%), menunjukkan tekanan lahan yang relatif ringan dan potensi keberhasilan rehabilitasi yang lebih tinggi (Fatmawati et al., 2016).

Kegiatan KKL ini secara langsung mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 14 (Life below Water) melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir, serta SDG 13 (Climate Action) dengan mengidentifikasi potensi penyerapan karbon mangrove sebagai solusi berbasis alam. Melalui pendekatan ilmiah yang terintegrasi dengan keterlibatan masyarakat lokal, termasuk kelompok Pelita Bahari yang dibentuk bersama OISCA, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah signifikan dalam mendukung strategi konservasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. “Saat ini kesadaran masyarakat mengenai pentingnya ekosistem mangrove telah menunjukkan peningkatan, harapannya semoga pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat yang sebagian besar memiliki mata pencaharian utama sebagai penambak baik ikan bandeng maupun udang vaname dapat beriringan dengan upaya pelestarian lingkungan,” ujar Bapak Tolani selaku Ketua Kelompok Pelita Bahari. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal ini memperkuat upaya perlindungan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa.

“Selama melakukan penelitian melalui program kuliah kerja lapangan di kawasan ekosistem esensial mangrove Desa Mojo, Kabupaten Pemalang, kami menyaksikan secara langsung bagaimana hutan mangrove menjadi benteng alami bagi pesisir dan rumah bagi keanekaragaman hayati yang luar biasa” ujar Tim Minat Biotik. Kondisi ini menjadi pengingat bahwa perlindungan ekosistem merupakan suatu hal yang krusial untuk dilakukan, khususnya dalam konteks krisis iklim, kerusakan lingkungan, dan tekanan pembangunan.

Penulis: Tim KKL

Kajian Clean Coast Index untuk Coastal Resilience di Kabupaten Pemalang

Berita Wednesday, 23 July 2025

Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada telah melaksanakan Kuliah Kerja Lapang (KKL) dengan tema Coastal Resilience di Kabupaten Pemalang pada 14-17 Juli 2025. Kegiatan ini menganalisis kebersihan pantai melalui pendekatan Clean Coast Index (CCI) dan Hazardous Item Index (HII) di tiga lokasi strategis: Pantai Widuri Kecamatan Pemalang, Pantai Joko Tingkir Kecamatan Petarukan, dan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Mangrove Mojo Kecamatan Ulujami. Penelitian ini merupakan respons terhadap permasalahan serius pencemaran sampah laut antropogenik di pesisir Indonesia, khususnya di Kabupaten Pemalang yang memiliki potensi wisata dan ekonomi maritim yang tinggi.

[sangar-slider id=”1735″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Metode penelitian yang digunakan diantaranya Shoreline Survey Methodology dan transect belt sampling untuk mengidentifikasi jumlah, jenis, dan kelimpahan sampah pesisir secara komprehensif. Tim peneliti menggunakan berbagai instrumen ilmiah termasuk GPS, kamera, timbangan analitik, dan peralatan sampling lainnya untuk memperoleh data kuantitatif dan kualitatif yang akurat. Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat kebersihan pantai dan keberadaan barang berbahaya, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi pesisir. Data awal menunjukkan bahwa Pantai Widuri memiliki kepadatan sampah makro (Sampah dengan ukuran lebih besar dari 25 mm) lebih tinggi karena aktivitas wisata yang intensif dengan 143 sampah plastik dari total 174 item, sementara Pantai Joko Tingkir didominasi sampah meso (Sampah dengan ukuran antara 5 mm hingga 25 mm) akibat aliran Sungai Comal. KEE Mojo sebagai kawasan konservasi menghadapi tekanan ganda dari akumulasi sampah laut dan darat yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove.

Temuan penelitian mengungkap kondisi memprihatinkan dengan dominasi sampah plastik dan keberadaan limbah berbahaya seperti jarum suntik, puntung rokok, dan pecahan kaca dalam jumlah signifikan. “Penelitian ini penting sebagai dasar ilmiah untuk menjaga kebersihan dan keselamatan lingkungan pesisir Pemalang,” ungkap Cindy Amelina selaku Koordinator Minat CCI. Data ini menjadi krusial mengingat Indonesia berkontribusi 0,48-1,29 juta ton sampah plastik ke laut per tahun, dan Pemalang sebagai wilayah pesisir strategis membutuhkan pengelolaan berbasis sains untuk keberlanjutan wisata dan perlindungan kawasan konservasi. Kolaborasi antara UGM, Pemerintah Kabupaten Pemalang, Dinas Lingkungan Hidup, dan BPBD dalam penelitian ini diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan pengelolaan pesisir yang efektif untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan keberlanjutan ekonomi berbasis wisata maritim.

Kegiatan penelitian ini sejalan dengan pencapaian beberapa target Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 14 (Life Below Water) melalui upaya pengurangan polusi laut dan perlindungan ekosistem pesisir, SDG 12 (Responsible Consumption and Production) dengan meningkatkan kesadaran pengelolaan sampah, serta SDG 17 (Partnerships for the Goals) melalui kolaborasi multi-stakeholder antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan berkontribusi terhadap pencapaian target global perlindungan lingkungan laut dan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal, regional, maupun nasional.

Penulis: Tim KKL

Menyingkap Ancaman Intrusi Air Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Pemalang

Berita Tuesday, 22 July 2025

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Lingkungan telah menyelesaikan penelitian lapangan komprehensif untuk menganalisis fenomena intrusi air laut terhadap kualitas air tanah di wilayah pesisir Kabupaten Pemalang. Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) yang berlangsung pada tanggal 14–17 Juli 2025 ini dilakukan melalui pengambilan data di empat kecamatan strategis yakni Kecamatan Pemalang, Taman, Petarukan, dan Ulujami, yang merepresentasikan karakteristik beragam wilayah pesisir Kabupaten Pemalang.

[sangar-slider id=”1727″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Intrusi air laut merupakan salah satu ancaman tersembunyi yang mengancam keberlanjutan sumber daya air di wilayah pesisir Indonesia. Air tanah di kawasan pesisir memiliki fungsi vital dalam menunjang kebutuhan hidup masyarakat, namun masuknya air laut ke dalam lapisan air tanah dapat secara signifikan menurunkan kualitas air dan membahayakan kesehatan serta ketahanan air masyarakat pesisir. Permasalahan ini diperparah oleh aktivitas antropogenik seperti eksploitasi air tanah secara berlebihan, perubahan tata guna lahan, dan tekanan pembangunan di wilayah pesisir. “Penelitian ini menjadi langkah awal untuk memahami krisis tersembunyi di bawah tanah, air bersih yang perlahan tercemar oleh laut,” ungkap Koordinator Tim Peneliti, menekankan urgensi kajian ilmiah yang mendalam untuk memahami dinamika hidrogeologis di wilayah pesisir.

Metodologi penelitian yang diterapkan menggunakan pendekatan scientific yang terstruktur melalui pengukuran kualitas air dengan pengambilan sampel dari sumur gali dan sumur bor menggunakan alat Water Checker Multiparameter untuk mengukur parameter kunci seperti salinitas, Total Dissolved Solids (TDS), Daya Hantar Listrik (DHL), dan pH, serta penggunaan GPS untuk dokumentasi spasial yang akurat. Penelitian ini bertujuan menganalisis pola sebaran dan tingkat keparahan intrusi air laut serta mengkaji dampak intrusi terhadap kualitas air tanah di wilayah pesisir Kabupaten Pemalang. “Kondisi lapangan menunjukkan variasi signifikan dalam kualitas air tanah, yang mencerminkan besarnya tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir,” ujar salah satu anggota tim peneliti. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran ilmiah mengenai kondisi aktual air tanah di wilayah pesisir serta menjadi dasar rekomendasi kebijakan pengelolaan air yang berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan masyarakat, termasuk menyediakan informasi awal tentang potensi pencemaran air tanah akibat intrusi air laut dan memberikan rekomendasi pemanfaatan air bersih secara berkelanjutan di daerah pesisir.

Kegiatan penelitian ini secara langsung berkontribusi terhadap pencapaian beberapa tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 6 mengenai Clean Water and Sanitation melalui upaya memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan untuk semua, serta SDG 14 tentang Life Below Water dalam konteks perlindungan dan pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut dan pesisir. Penelitian ini juga mendukung SDG 13 Climate Action melalui upaya adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada sumber daya air pesisir. “Kami berharap hasil penelitian ini dapat menjadi pijakan untuk kebijakan perlindungan sumber daya air yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Penulis: Tim KKL

Analisis Multibahaya untuk Mengetahui Tingkat Kerentanan Pesisir Kabupaten Pemalang

Berita Tuesday, 22 July 2025

Mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) bertema coastal resilience di Kabupaten Pemalang pada tanggal 14-17 Juli 2025. Sebagian daerah Pemalang yang berada di Pantai Utara Jawa mengalami perkembangan yang sangat masif namun terancam oleh fenomena perubahan iklim. Berbeda dengan wilayah pesisir lainnya seperti Semarang, Demak, atau Jakarta yang telah menjadi perhatian publik, Pemalang belum menjadi wilayah prioritas untuk upaya mitigasi meskipun dampak bencana pesisir sudah sangat dirasakan masyarakat setempat.

[sangar-slider id=”1687″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Dari perspektif fisik, penelitian ini menggunakan metode Coastal Hazard Wheel (CHW), sebuah sistem klasifikasi standar yang dikembangkan oleh Roshendal Applequist bersama UNEP untuk menilai bahaya yang dihadapi wilayah pesisir akibat perubahan iklim dan aktivitas manusia. Penelitian dilakukan sepanjang pesisir Pemalang yang berbatasan langsung dengan Pantai Utara Jawa, meliputi Kecamatan Ulujami, Petarukan, Taman, dan Pemalang dengan panjang garis pantai mencapai 45,16 km. Enam parameter biogeofisik menjadi fokus utama analisis, yaitu bentuklahan atau tata letak geologi, gelombang, pasang surut, keberadaan flora (mangrove atau vegetasi lain), imbangan sedimen, dan storm climate. Tujuan utama penelitian adalah menganalisis tingkat multibahaya di pesisir Kabupaten Pemalang serta merumuskan rekomendasi upaya pengelolaannya.

Hasil sementara menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan di pesisir Pemalang. Analisis menunjukkan bahwa wilayah ini memiliki ancaman bahaya disrupsi ekosistem dan inundasi pada tingkat sedang hingga sangat tinggi, bahaya erosi rendah hingga tinggi, serta bahaya intrusi dan banjir rob sedang hingga tinggi. Kondisi ini diperkuat oleh fakta bahwa garis pantai di beberapa wilayah pesisir seperti Pantai Kramatsari Blendung, Pantai Ketapang, Pantai Kertosari, dan Pantai Kaliprau sudah mulai hilang akibat bencana rob pada bulan Mei lalu. Data dari BPBD Kabupaten Pemalang mencatat terdapat 8 kecamatan yang masuk daerah rawan banjir, dengan empat di antaranya terletak di pesisir dengan total luas daerah rawan banjir mencapai 27.387,34 Ha. Dampak banjir rob yang terjadi di akhir Mei 2025 sangat parah, berdasarkan keterangan dari Ketua BUMDES Kertosari, Bapak Subhi, menyampaikan bahwa 50% wilayah Desa Kertosari terendam yang terdiri dari 30% area kebun/sawah/tambak dan 20% permukiman. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan dialami Desa Blendung yang menurut Pak Waryono, pembina Koperasi Perikanan Darat, mengalami genangan 100% saat banjir rob tersebut.

Untuk mendapatkan hasil yang komprehensif, tim peneliti berkoordinasi dengan beberapa OPD di Kabupaten Pemalang yaitu BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga, BAPPEDA, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, serta Cabang Dinas Kehutanan V. Mengingat pengelolaan sebagian wilayah pesisir dan laut menjadi kewenangan provinsi, tim juga berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah Kabupaten Pemalang memberikan dukungan penuh dalam kegiatan ini berupa penyediaan data, informasi, dan dokumen untuk menunjang analisis seperti data kejadian bencana, dokumen tata ruang, kajian risiko bencana, dokumen rencana kinerja, dokumen rencana strategi, hingga dokumen laporan realisasi kegiatan, serta dokumen, data, dan informasi lain yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir di Kabupaten Pemalang.

Kegiatan KKL ini sejalan dengan beberapa Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 13 (Climate Action) dengan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap wilayah pesisir, SDG 14 (Life Below Water) dalam konteks pelestarian ekosistem pesisir dan laut, serta SDG 15 (Life on Land) melalui perlindungan ekosistem darat di zona pesisir. Sehingga, penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan awal bagi masyarakat untuk mulai melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang diperlukan, serta menjadi dasar penyusunan program dan kebijakan mitigasi pesisir bagi pemerintah daerah dan pusat. Sebagaimana disampaikan Pak Waryono, pembina Koperasi Perikanan Darat Desa Blendung, hasil penelitian ini diharapkan dapat dibawa kepada pemerintah sehingga dapat lebih memperhatikan kondisi pesisir Pemalang dan membantu masyarakat melakukan upaya-upaya pengurangan dampak bencana.

Penulis: Tim KKL

Kuliah Kerja Lapangan 2025: Menguak Kompleksitas Tantangan Lingkungan Pesisir di Kabupaten Pemalang melalui Pendekatan Multidisiplin

BeritaFlash Monday, 21 July 2025

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada telah menyelenggarakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) komprehensif bertema “Coastal Resilience” di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, pada tanggal 14-18 Juli 2025. Kegiatan ini melibatkan pendekatan multidisiplin untuk menganalisis berbagai aspek lingkungan pesisir yang mencakup dimensi sosial, fisik, dan biotik di wilayah yang tersebar di empat kecamatan strategis yaitu Kecamatan Pemalang, Taman, Petarukan, dan Ulujami.

Hasil penelitian komprehensif dari kelima minat menunjukkan kompleksitas tantangan pesisir Kabupaten Pemalang yang saling berkaitan. Minat Sosial mengungkapkan bahwa Kecamatan Ulujami merupakan kecamatan yang menunjukkan tingkat persepsi tertinggi terhadap semua isu pesisir, diantaranya adalah kerusakan infrastruktur, rumah, dan lahan pertanian akibat banjir rob, penurunan kualitas air dan lahan pertanian, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat akibat permasalahan lingkungan pesisir. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Sosial)

Pada aspek lain, Minat Coastal Hazard Wheel mengidentifikasi tingkat kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap disrupsi ekosistem, inundasi, erosi, dan intrusi air laut, yang dikonfirmasi dengan kejadian banjir rob Mei 2025 yang menyebabkan 50% wilayah Desa Kertosari dan 100% Desa Blendung terendam. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Coastal Hazard Wheel)

Penelitian intrusi air laut mengungkap ancaman tersembunyi terhadap kualitas air tanah yang menunjukkan variasi signifikan kualitas air tanah akibat masuknya air laut ke dalam lapisan akuifer. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Intrusi)

Sementara itu, hasil pengamatan dari Minat Clean Coastal Index (CCI) menunjukkan bahwa Pantai Widuri memiliki kepadatan sampah makro (Sampah dengan ukuran lebih besar dari 25 mm) lebih tinggi karena aktivitas wisata yang intensif dengan 143 sampah plastik dari total 174 item, sementara Pantai Joko Tingkir didominasi sampah meso (Sampah dengan ukuran antara 5 mm hingga 25 mm) akibat aliran Sungai Comal. KEE Mojo sebagai kawasan konservasi menghadapi tekanan ganda dari akumulasi sampah laut dan darat yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Clean Coastal Index)

Melalui perspektif lain, Tim Minat Biotik menemukan bahwa Ekosistem Mangrove Mojo memiliki potensi penyerapan karbon sebesar 55,73 ton C/ha yang didominasi Avicennia marina dan Rhizophora mucronata, namun menghadapi tekanan dari alih fungsi lahan menjadi tambak udang vaname yang menyebabkan kematian pohon mangrove di zona kritis. Temuan ini menunjukkan bahwa pesisir Pemalang menghadapi tekanan berlapis yang memerlukan pendekatan pengelolaan holistik dan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan pesisir. [selengkapnya]

(Dokumentasi Minat Biotik)

Kegiatan penelitian komprehensif ini melibatkan koordinasi intensif dengan berbagai Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Pemalang termasuk BPBD, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perikanan, BAPPEDA, dan Cabang Dinas Kehutanan V, serta Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah. Pemerintah Daerah memberikan dukungan penuh berupa penyediaan data, informasi, dan dokumen penunjang analisis. Sinergi antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal, termasuk keterlibatan Kelompok Pelita Bahari yang dibentuk bersama OISCA, memperkuat upaya perlindungan ekosistem mangrove sebagai benteng alami pesisir.

Hasil penelitian terintegrasi ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi komprehensif untuk pengelolaan lingkungan pesisir yang berkelanjutan dan menjadi dasar acuan bagi Pemerintah Kabupaten Pemalang dalam merumuskan kebijakan pengelolaan lingkungan yang lebih efektif. Dampak jangka panjang penelitian diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengelolaan lingkungan berkelanjutan, memperkuat ketahanan sosial ekonomi masyarakat pesisir, serta menjadi peringatan awal bagi pemerintah daerah untuk mulai melakukan upaya mitigasi dan adaptasi yang diperlukan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan tekanan pembangunan di wilayah pesisir.

Kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini secara langsung mendukung pencapaian beberapa Sustainable Development Goals (SDGs) melalui pendekatan holistik. SDG 6 (Clean Water and Sanitation) didukung melalui upaya memastikan ketersediaan dan pengelolaan air bersih berkelanjutan dengan analisis intrusi air laut. SDG 13 (Climate Action) diimplementasikan melalui analisis dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir dan identifikasi potensi penyerapan karbon mangrove sebagai solusi berbasis alam. SDG 14 (Life Below Water) diperkuat melalui perlindungan dan pemulihan ekosistem pesisir serta pemanfaatan berkelanjutan sumber daya laut. SDG 15 (Life on Land) didukung melalui kajian pengelolaan lingkungan pesisir berkelanjutan dan perlindungan ekosistem darat di zona pesisir. Terakhir, SDG 17 (Partnerships for the Goals) diimplementasikan melalui kolaborasi komprehensif dengan Pemerintah Kabupaten Pemalang, berbagai OPD, dan masyarakat lokal yang memberikan dukungan penuh dalam bentuk akses data dan fasilitas penelitian.

Penulis: Tim KKL

Komodo Island: Wawasan Konservasi Reptil Purba Indonesia

BeritaBerita S3 Friday, 11 July 2025

Tim gabungan mahasiswa doktoral dari program studi Ilmu Lingkungan, Ilmu Geografi, dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada melaksanakan studi lapangan komprehensif di Pulau Komodo sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil pada tanggal 1–7 Juli 2025. Ekspedisi ini berfokus untuk memahami status konservasi, ekologi perilaku, dan potensi pariwisata berkelanjutan dari spesies biawak terbesar di dunia yaitu Komodo (Varanus komodoensis).

[sangar-slider id=”1652″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Selama kunjungan di Pulau Komodo, para mahasiswa mendapatkan kesempatan langka bertemu dengan Thomas, Komodo Jantan berusia 20 tahun, dipandu oleh beberapa Ranger Konservasi dari Taman Nasional Komodo yang yang dipimpin oleh Pak Fajar. Kunjungan ini kebetulan dilaksanakan ketika musim kawin Komodo, yaitu sekitar Juni-Juli-Agustus. Komodo adalah spesies biawak penyendiri, tidak suka berpindah-pindah jauh dari daerah teritorialnya, dan hanya bersosialisasi dengan jenisnya ketika musim kawin atau saat berburu mangsa besar.

Dari informasi Pak Fajar, predator purba ini walau tampak dari luar terlihat tenang saat dikelilingi oleh banyak wisatawan, dapat saja bersikap agresif ketika ada gerakan yang tiba-tiba, provokasi yang disengaja seperti menggerakkan benda asing di depannya, atau mencium aroma amis ikan dan darah. Oleh karena itu, setiap lima orang pengunjung akan selalu didampingi oleh satu Ranger terlatih yang membawa tongkat kayu berbentuk huruf Y untuk keamanan terutama bagi yang membawa anak-anak ataupun wanita yang sedang menstruasi. Pak Fajar juga mengungkap fakta menarik, bahwa bukti rekam fosil menunjukkan biawak introvert ini memiliki garis keturunan genetik dari benua Australia yang kemudian berevolusi dan merantau ke arah Barat hingga tiba di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia.

Menurut Fizul Surya Pribadi, salah satu kandidat doktoral ilmu lingkungan, yang menyaksikan Thomas, si Komodo yang kalem dan misterius di habitat aslinya, adalah pengalaman yang merendahkan hati dan membuka wawasan ilmiah. Kenapa? Secara global, biawak Komodo ini termasuk spesies yang terancam punah dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature). Populasi Komodo saat ini semakin sedikit dan keberadaan mangsa besar untuk diburu, seperti rusa, juga terbatas. Hanya 15% wilayah habitat Komodo di Flores yang masuk dalam Kawasan lindung, sementara sisanya telah didominasi oleh aktivitas manusia serta persaingan predasi dengan anjing liar.

“Bayangkan jika makhluk megah peninggalan dari masa purbakala ini punah dan hanya menjadi sosok mitos di buku sejarah di masa depan?” Ungkap Fizul. Apakah membiarkannya hidup secara alami sudah cukup? Di sini, manusia memiliki peran penting sebagai pelaku konservasi. Selain itu, mengungkap rahasia kehidupan kadal raksasa yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu ini akan sangat menarik, contohnya bagaimana spesies ini bisa beradaptasi dan bertahan hidup di tengah perubahan lansekap bumi selama jutaan tahun. Ini artinya, biawak Komodo adalah spesies kunci atau penghubung kehidupan sekarang dengan masa lalu. Mempelajari strategi bertahan hidup dan adaptasi genetik dari Komodo dapat menjadi peluang bagi para ilmuwan saat ini untuk untuk melindungi spesies lain yang terancam oleh perubahan iklim dan hilangnya habitat.

Berbagai studi ilmiah telah banyak dilakukan. Taman Nasional Komodo bekerjasama dengan tim peneliti Komodo Survival Program telah lama mengkaji tentang reproduksi dan pertumbuhan Komodo dalam iklim tropis, pola perilaku bersarang, pemantauan populasi Komodo secara berkelanjutan dengan metode camera trapping, hingga estimasi populasi spesies mangsa Komodo.  Penelitian jangka panjang ini memberikan basis data yang objektif dan komprehensif untuk menentukan strategi konservasi yang tepat dan arah penelitian di masa mendatang.

Ekspedisi ini juga menyoroti hubungan kompleks antara upaya konservasi dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penduduk lokal, kendati sektor pariwisata menyediakan modal yang penting untuk program konservasi dan komunitas lokal, tim ekspedisi menemukan bahwa masyarakat lokal belum tentu menerima manfaat yang pantas untuk objek wisata yang telah ditetapkan menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia sejak tahun 2011. Masih banyak kapal wisata yang beroperasi di perairan Kepulauan Sunda Kecil ini dimiliki oleh pihak luar, bukan warga lokal, sehingga terjadi kebocoran manfaat ekonomi yang seharusnya mendukung konservasi dan pembangunan komunitas lokal. Ini menjadi catatan bagi pemerintah, peneliti, maupun stakeholder lokal untuk pengembangan model ekowisata berbasis komunitas sekaligus bersinergi dengan berbagai pihak untuk melindungi ekosistem Taman Nasional Komodo dan kelestarian hayati spesies-spesies langka di dalamnya.

Kegiatan ekspedisi ini secara langsung mendukung beberapa poin dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pertama, poin SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, karena penelitian terhadap adaptasi ekologis Komodo memberi wawasan tentang bagaimana spesies bertahan dalam kondisi iklim ekstrem selama jutaan tahun, yang relevan untuk strategi mitigasi perubahan iklim masa kini. Kedua, SDG 15: Ekosistem Daratan, karena upaya konservasi Komodo berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan pemulihan habitat alaminya. Ketiga, SDG 14: Ekosistem Lautan, terutama terkait perlindungan kawasan pesisir dan laut di sekitar Taman Nasional Komodo dari eksploitasi wisata yang tidak berkelanjutan. Keempat, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, melalui pengembangan ekowisata berbasis komunitas lokal sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan dan inklusif. Terakhir, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, yang tercermin dari kolaborasi antara universitas, pemerintah, ranger konservasi, dan masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian spesies Komodo sebagai warisan dunia.

Penulis: Nida Humaida

Editor: Ulyn N

Labuan Bajo: Kekayaan Bawah Laut dan Eksplorasi Ekologi Pulau-Pulau Kecil Tropis

BeritaBerita S3 Thursday, 10 July 2025

Rangkaian kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan berlanjut ke beberapa pulau dalam Gugusan Kepulauan Sunda Kecil. Kegiatan ini dilaksanakan pada 4-6 Juli 2025 yang bertujuan untuk identifikasi dan pemetaan potensi ekosistem laut dan daratan kecil tropis. Penelitian ini melibatkan pendekatan terpadu dalam menganalisis sumber daya abiotik, biotik, serta unsur budaya lokal. Ekspedisi dilakukan menggunakan kapal dengan dukungan enumerator lokal Akbar dan Amir, yang memiliki pemahaman mendalam mengenai kondisi sosial-ekologis wilayah tersebut.

[sangar-slider id=”1638″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Pulau Sebayur menjadi titik awal observasi dan segera menunjukkan potensi tinggi dalam konteks konservasi. Pulau ini memiliki terumbu karang dan komunitas ikan yang masih alami, dengan tingkat intervensi manusia yang sangat minim karena tidak berpenghuni. Kondisi ini menjadikannya lokasi ideal untuk studi baseline ekosistem laut tropis. Menurut Susi Nurweni, salah satu Kandidat Doktor Ilmu Lingkungan, keindahan terumbu karang dan pasir putih yang terlihat melalui kegiatan snorkeling memperlihatkan kondisi ekologis yang sehat, jarang ditemukan di wilayah yang terpapar tekanan wisata intensif.

Tim tidak dapat mengunjungi Pulau Manta karena arus laut yang tinggi saat itu. Keputusan untuk mengalihkan kegiatan ke lokasi lain menjadi contoh penerapan prinsip keselamatan berbasis kondisi oceanografis. Alternatif pengamatan dilakukan di Pulau Taka Makassar, sebuah pulau pasir yang hanya muncul saat air laut surut. Fenomena geomorfologis ini menunjukkan dinamika ekosistem pesisir yang khas. Keindahan pasir putih dan kejernihan air laut menjadikan pulau ini destinasi wisata favorit, namun juga mengindikasikan kebutuhan akan pengelolaan berbasis daya dukung lingkungan.

Ekspedisi berlanjut ke Pulau Padar, salah satu ikon visual Taman Nasional Komodo (TNK). Pulau ini menawarkan lanskap karst dengan bukit savana yang telah menjadi destinasi trekking populer. Aktivitas pendakian dimulai sejak pukul 04.00 WITA untuk menyaksikan matahari terbit dari puncak tertinggi. Petugas TNK memberikan edukasi sebelum pendakian mengenai larangan membuang sampah sembarangan, merokok, dan menerbangkan drone tanpa izin. Sayangnya, pembangunan pelabuhan dan fasilitas lain di kawasan ini mulai menunjukkan adanya tekanan antropogenik, terutama dari aktivitas wisata yang tidak sepenuhnya dikendalikan. Minimnya fasilitas pengelolaan sampah memperlihatkan urgensi peningkatan infrastruktur dasar berbasis konservasi.

Di sisi barat Pulau Padar, terdapat Pink Beach, yang dikenal karena pasirnya yang berwarna merah muda. Warna ini dihasilkan oleh serpihan mikroorganisme laut seperti kerang foraminifera yang berwarna merah. Pantai ini sangat menarik sebagai objek fotografi dan geowisata, tetapi peningkatan kunjungan wisatawan tanpa pengaturan yang memadai berpotensi mengikis daya dukung ekologisnya. Kajian lebih lanjut diperlukan untuk menyusun strategi wisata berkelanjutan yang dapat melindungi keunikan geologis ini.

Pulau Komodo, sebagai habitat utama bagi satwa endemik Varanus komodoensis, menyuguhkan interaksi menarik antara komponen abiotik seperti batuan karst dan suhu tinggi, dengan vegetasi sabana dan kehidupan satwa liar. Sebelum tracking dilakukan, petugas memberikan edukasi mengenai sejarah keberadaan Komodo serta kaitannya dengan budaya masyarakat setempat. Seorang ranger menjelaskan bahwa legenda leluhur menyebutkan komodo dan manusia sebagai saudara kembar, mencerminkan hubungan ekologis dan spiritual yang mendalam antara masyarakat dan alam. Tim beruntung dapat mengamati seekor Komodo jantan bernama Thomas, yang menjadi fokus observasi perilaku makan, aktivitas harian, dan periode reproduksi yang biasanya berlangsung dari Juni hingga Agustus. Kawasan pesisir Pulau Komodo telah dihuni oleh masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari perikanan, pertanian kecil, dan pariwisata. Model pariwisata yang berkembang lebih sesuai dengan pendekatan ekowisata berbasis masyarakat daripada pariwisata massal yang eksploitatif.

Ekspedisi kemudian menuju Pulau Kalong, dinamakan demikian karena menjadi rumah bagi ribuan kelelawar besar atau kalong. Fenomena lepas landas koloni kalong pada sore hingga malam hari menjadi pengalaman ekologi yang menarik. Amir, salah satu enumerator lokal, menjelaskan bahwa jenis kalong yang ada belum diteliti secara spesifik, meskipun secara morfologi mereka tergolong dalam famili Pteropodidae dan subordo Megachiroptera. Ukuran tubuh yang besar mengindikasikan pentingnya pulau ini sebagai habitat kelelawar buah, yang berperan dalam penyerbukan dan penyebaran biji di ekosistem kepulauan.

Pulau terakhir dalam ekspedisi ini adalah Pulau Kelor, yang menyuguhkan perpaduan antara pantai berpasir putih, perairan tenang, dan jalur pendakian yang memberikan panorama spektakuler dari ketinggian. Vegetasi savana mendominasi area pulau, serupa dengan Pulau Padar, dan menjadi indikator penting dalam memahami interaksi antara kondisi abiotik, komposisi vegetasi, serta pengaruh aktivitas wisatawan terhadap bentang alam.

Seluruh rangkaian kegiatan ini tidak hanya menghasilkan data ilmiah untuk kepentingan konservasi, tetapi juga memperkuat praktik wisata berkelanjutan berbasis pengetahuan lokal dan keterlibatan komunitas. Ekspedisi ini menunjukkan bahwa konservasi tidak dapat dipisahkan dari pemahaman ekologis yang komprehensif serta integrasi nilai-nilai sosial dan budaya lokal sebagai bagian dari strategi pelestarian jangka panjang.

Lebih dari sekadar eksplorasi ilmiah, kegiatan ini memberikan kontribusi nyata terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks ini, ekspedisi mendukung SDG 14 (Life Below Water) dengan melakukan pemantauan kondisi ekosistem laut dan habitat karang. Kemudian, SDG 15 (Life on Land) tercermin dalam kajian keanekaragaman hayati daratan kecil dan perlindungan spesies endemik seperti Komodo. Kegiatan ini juga mendukung SDG 13 (Climate Action) melalui adaptasi lapangan terhadap perubahan kondisi alam, serta memperkuat pengelolaan risiko bencana ekologis. Dalam dimensi sosial, kegiatan ini sejalan dengan SDG 11 (Sustainable Cities and Communities) karena mengusung pendekatan ekowisata berbasis masyarakat, serta mendukung SDG 4 (Quality Education) dengan melibatkan edukasi lapangan, penyuluhan, dan pemahaman lintas disiplin yang diberikan kepada wisatawan, komunitas lokal, dan pihak pengelola kawasan.

Dengan pendekatan ilmiah, partisipatif, dan adaptif, ekspedisi ini diharapkan menjadi dasar pengambilan kebijakan berbasis data dalam pengelolaan kawasan Labuan Bajo sebagai wilayah konservasi prioritas dan laboratorium hidup (living laboratory) untuk penelitian keberlanjutan di wilayah pesisir Indonesia.

Penulis: Williem dan Tim

Talkshow Interaktif: Merajut Kolaborasi di Kawasan Wisata Premium Labuan Bajo

BeritaBerita S3 Wednesday, 9 July 2025

Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana UGM melaksanakan kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil berkolaborasi dengan Program Studi Doktor Kependudukan dan Program Studi Doktor Ilmu Geografi. Lokasi target kali ini yakni di kawasan wisata premium Labuan Bajo. Sebagai rangkaian kegiatannya, dilaksanakan Talkshow Interaktif antara UGM, Mitra, dan Alumni. Para pihak yang hadir dalam Talkshow Interaktif tanggal 3 Juli 2025 tersebut antara lain Prof. Eko Haryono dan Dr. Sudaryatno beserta peserta ekspedisi, Dr. Leonard Chrysostomos Epafras yang merupakan bagian Humas dan Kerjasama Sekolah Pascasarjana UGM, Perwakilan Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama) Wilayah Manggarai yang dipimpin oleh Bapak Stefan, mitra dari Taman Nasional Komodo (TNK) yaitu Bapak Ichwan serta perwakilan dari kampus Labuan Bajo (Kampus El Bajo).

[sangar-slider id=”1633″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Kegiatan sharing dan diskusi ini dimoderatori oleh mahasiswa Doktor Ilmu Lingkungan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur yaitu Willem Amu Blegur. Diskusi yang santai tapi menarik tersebut berhasil menampung beberapa pokok pikiran. Dr. Leo menyampaikan bahwa kiranya kegiatan ini tidak hanya sampai di sini, tapi akan berlanjut lagi dengan adanya penelitian dan kolaborasi di masa mendatang. Hal tersebut disambut baik oleh perwakilan Kagama Wilayah Manggarai. Bapak Stefan menyampaikan bahwa sebagai anggota keluarga maka mereka sangat senang mendapatkan kunjungan dari anggota keluarga di UGM.

“Pada tahun 2023 ada pula kunjungan dari UGM dan tim Kagama Manggarai menyambut dengan gembira dan berdiskusi dengan Ibu Rektor. Akan tetapi, perkembangan Labuan Bajo memiliki tantangan juga yaitu bahwa ada ketimpangan pembangunan wilayah, yaitu di dalam kota nampak dengan pembangunan yang wah, tapi di pinggiran kota masih ditemukan rumah warga dan ketimpangan pendapatan masyarakat”, ujar dari Pak Stefan.

Semoga ke depan ada kegiatan bersama untuk memajukkan wilayah ini, seperti yang telah sedang dilakukan bersama Prof. Dr. Gabriel Lele, M.Si., yang berasal dari Fakultas Ilmu dan Sosial Politik UGM. Beliau merupakan salah satu warga Manggarai yang berhasil di UGM.

Diskusi interaktif tersebut, dilanjutkan oleh Prof. Dr. Eko Haryono, M.Sc yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan respon. Salah seorangnya yaitu Osmar Shalih, mahasiswa Doktor Ilmu Geografi yang sedang mengadakan penelitian terkait mitigasi bencana. “Pengembangan wilayah menjadi kawasan wisata perlu memperhatikan daya dukung dan tata ruang. Air, listrik, dan sampah menjadi krusial di kawasan wisata. Bahkan ditemukan pula ada bangkai kapal di laut yang tentunya membahayakan penduduk lokal yang beraktivitas di laut”, lanjut Osmar. Lebih lanjut, Natania Adel yang berasal dari Doktor Kependudukan menyampaikan hasil temuan disertasi saat mengadakan penelitian di daerah Labuan Bajo. “Pada beberapa wilayah kecamatan yang ada, ternyata penduduk lokal masih belum siap untuk menghadapi perkembangan Labuan Bajo menjadi DPSP. Anggota masyarakat di 12 kecamatan enggan untuk melakukan mobilitas dengan alasannya”. Natania Adel juga merupakan salah satu calon doktor S3 Prodi Kependudukan yang berasal dari Nusa Tenggara Timur. Hal ini menjadi perhatiannya dan juga tentu ini perlu menjadi perhatian bersama.

Moderator mencoba untuk mengarahkan diskusi pada nuansa yang berbeda, yaitu bahwa Labuan Bajo berkembang dengan landasan oleh adanya satwa endemik Varanus komodoensis. Saat bertanya maka Bapak Ichwan sebagai perwakilan TNK menyampaikan sebagai berikut: “Sejak penetapan dan pemberlakuan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) maka terjadi lonjakan kunjungan baik dari wisatawan mancanegara dan juga wisatawan domestik. Pemerintah mendorong DPSP dengan mengubah Pantai Marina yang awalnya hanya sebagai Tempat Pendaratan Ikan (TPI) menjadi pelabuhan Marina yang lengkap memiliki pelabuhan dan lokasi antar jemput wisatawan dan beberapa hotel di sekitarnya. Akan tetapi, sampai saat ini dengan adanya peningkatan pendapatan dari TNK nampaknya bahwa telah terjadi penumpukkan kunjungan. Ada potensi daya dukung dan daya tampuk beberapa pulau di DPSP Labuan Bajo sudah melebihi seperti di Pulau Padar”.

Selanjutnya masih terkait dengan isu DPSP dari aspek persampahan maka Bapak Iwan yang dikenal sebagai “Om Sampah” dan sebagai praktisi yang bergerak untuk mengelola sampah plastik menambahkan bahwa terdapat kendala pada pemahaman warga tentang sampah. “Dalam dua desa yang ada hanya 10 RT dari 40 RT yang peduli mengadakan pemilahan sampah organik dan anorganik. Kami memerlukan ada kajian sehingga warga diberikan pemahaman agar menganggap sampah memiliki nilai ekonomis bagi mereka”. Hal ini ditanggapi oleh rencana kajian bersama dengan salah seorang mahasiswa Doktor Ilmu Lingkungan yakni Daniel Wolo. Saat ini masih bertugas di Universitas Flores dan juga tertarik untuk meneliti terkait sampah khususnya mikroplastik. Walaupun lokasi kajian di Kota Kupang, tapi semoga dapat diimplementasikan juga di Labuan Bajo.

Selanjutnya dari akademisi yang ada di Labuan Bajo, beberapa poin menarik yang disampaikan bahwa kampus El Bajo memiliki fokus untuk mengkaji kegiatan ekowisata, perpajakan dan akuntasi. Respon terhadap DPSP bersifat positif bagi pengembangan wilayah, tapi perlu memperhatikan dengan serius adanya dampak DPSP. “SDM di wilayah ini perlu dikembangkan menjadi lebih optimal dan juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Oleh sebab itu, semoga ada kerjasama akademik yang kolaboratif di masa mendatang dengan UGM”. Pada bagian penutup, Dr. Sudaryatno menyampaikan bahwa kegiatan ini menjadi bagian untuk memotivasi mahasiswa untuk mendapatkan semangat lebih dalam menyelesaikan tugas akhir atau disertasi. Ini sebagai motivasi sehingga semua calon doktor yang hadir kembali bersemangat dan menyelesaikan tugasnya dan juga memperhatikan bahwa di masyarakat banyak hal-hal yang berkembang dan memerlukan perhatian atau kajian empiris. Selebihnya, kegiatan ini memiliki irisan yang erat bagi kesejahteraan masyarakat yang ada di dalam SDGs. Kegiatan mendukung SDGs 8 yakni pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan layak. Lalu, SDGs 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggungjawab yang bermakna adanya secara praktis mendukung usaha Labuan Bajo dalam pengurangan limbah dan pengelolaan sampah yang optimal. Poin SDGs 14 dan 15 tentang kehidupan di perairan dan daratan tidak lupa menjadi irisan penting bahwa Labuan Bajo mengalami perkembangan dan wajib memberikan kontribusi pada pelestarian biodiversitas hayati dan ekosistem di perairan dan daratan. Poin SDGs 17 tentang kemitraan untuk mencapai tujuan yang memiliki makna DPSP Labuan Bajo dikembangkan dengan menjaga kolaborasi yang sinergis berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat lokal, dan pelaku usaha pariwisata serta terkhusus Universitas Gadjah Mada sebagai pionir kegiatan ekspedisi ini.

Kita mempercayai bahwa pembangunan memiliki tujuan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat dan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, diperlukan analisis awal yang tajam atas rencana pembangunan. Lebih lagi, pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan rencana yang ada serta upaya untuk mencegah secara berkelanjutan apabila ada potensi bahaya bagi masyarakat dan lingkungan. Semoga diskusi dan sharing ini dapat merajut benang-benang kolaborasi di masa mendatang antara UGM dengan Kagama wilayah Manggarai, pemerintah, praktisi dan juga para akademisi. Jayalah selalu Indonesia.

Penulis: Willem Amu Blegur

Editor: Ulyn N

Kolaborasi UGM-Guilin University of Technology Selenggarakan Joint Lecture “Plate Convergence and Its Resource-Environmental Effects”

BeritaBerita S3FlashFlash S3 Monday, 23 June 2025

Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM), Fakultas Geografi UGM dan Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM bekerjasama dengan First-class Discipline of Geological Resources and Engineering, Guangxi Key Laboratory of Hidden Metallic Ore Deposits Exploration, College of Earth Sciences, Guilin University of Technology (GUT), China menyelenggarakan Workshop Internasional UGM-GUT joint lecture bertajuk “Plate Convergence and Its Resource-Environmental Effects“. Kegiatan ini berlangsung pada 23 Juni 2025 di Siti Nurbaya Center, Fakultas Geografi UGM. Tidak hanya menjadi wadah pertukaran ilmu kebumian, kegiatan juga berkontribusi langsung terhadap pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDG 13 (Climate Action), SDG 14 (Life below water), dan SDG 15 (Life on land).

[sangar-slider id=”1594″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Workshop menghadirkan presentasi ilmiah dari para pakar terkemuka. Prof. Xijun Liu dari Guilin University of Technology membahas Origin of the DUPAL anomaly in the Tethyan mantle domain and its geodynamic significance Sementara itu, Prof. Chong-Jin Pang memberikan paparan mengenai Density-current deposits of the southern Mariana Trench: their role in Hf isotopic variations of subducted sediments. Dua mahasiswa GUT yaitu Seipei Wu dan Hao Tian masing-masing memberikan paparan mengenai Basement nature of the West Jungger terrane, China: Insight from the age and Hf-O-H2O of xenocrystic zircons from Jurassic basalts dan Proto-Tethys Basin Evolution and Geodynamics: Evidence of Early Paleozoic Gabbro and Basalt in Shengligou, Northern Margin of Qaidam. Kemudian UGM diwakili Dr. Arifudin Idrus memberikan pemaparan mengenai Orogenic gold Deposits and Its Significances: Between Indonesia and China. Kegiatan berjalan sangat lancar dan penuh antusias peserta. Total 30 peserta bergabung secara hybrid. Suasana semakin hidup dengan adanya sesi tanya jawab, seperti salah satunya diskusi dari mahasiswa UGM yaitu Romza.

Sejalan dengan pencapaian SDGs, kegiatan ini berfokus pada poin ke-17 (Partnerships for the Goals), yaitu memperkuat kolaborasi akademik antara Indonesia dan China dalam riset kebumian. Diskusi interaktif antara akademisi, peneliti, dan mahasiswa turut mendorong inovasi untuk mengatasi tantangan lingkungan global, sekaligus menegaskan komitmen UGM dan mitranya dalam mendukung Sustainable Development Goals. UGM dan Guilin University of Technology tidak hanya berbagi pengetahuan melalui workshop UGM-GUT joint lecture tetapi diharapkan dapat menjadi pondasi kolaborasi lainnya untuk bersama menciptakan solusi nyata untuk masa depan bumi yang lebih berkelanjutan.

Penulis: Lucky

Titik Balik Konservasi: UGM Bebaskan 90 Tukik dan Tanam 400 Pandan di Pesisir Yogyakarta

BeritaFlash Thursday, 5 June 2025

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan kegiatan aksi peduli lingkungan bertajuk “Funtastic Without Plastic: Save Nature for the Future” sebagai bagian dari peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 yang mengusung tema “Ending Plastic Pollution“. Kegiatan yang berlangsung pada Sabtu, 31 Mei 2025, di Pantai Pelangi, Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta, ini merupakan wujud komitmen akademisi dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya terkait perlindungan ekosistem laut dan pengurangan dampak polusi plastik terhadap lingkungan. Acara yang dihadiri oleh 150 peserta ini dilaksanakan melalui kolaborasi dengan Fourkey Yogyakarta (Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta), menunjukkan sinergi yang kuat antara institusi pendidikan tinggi dan organisasi masyarakat sipil dalam mengimplementasikan aksi nyata pelestarian lingkungan. Kegiatan ini secara langsung berkontribusi pada pencapaian SDG 14 (Life Below Water) melalui upaya perlindungan dan restorasi ekosistem laut, serta SDG 15 (Life on Land) melalui konservasi keanekaragaman hayati pesisir.

[sangar-slider id=”1556″]
(Dokumentasi Kegiatan)

Beberapa peserta kegiatan Aksi Peduli Lingkungan membagikan kesan mereka setelah mengikuti acara. Faouzi, mahasiswa Magister Ilmu Lingkungan UGM asal Aljazair, mengungkapkan, “Cukup melelahkan, namun saya menikmati. Ini sangat menyenangkan. Ini adalah pertama kalinya saya mencoba aktivitas konservasi, dan jika nanti ada kegiatan serupa, saya ingin berpartisipasi lagi.” Senpei Wu, mahasiswa asing dari Guilin University of Electronic Technology, China, juga menyampaikan apresiasinya. “Hari ini sangat berarti bagi saya. Pantai di sini sangat indah, dan Indonesia adalah negara yang menakjubkan. Saya sangat senang bisa terlibat dalam aksi seperti ini. Kita perlu lebih peduli terhadap lingkungan, seperti yang dilakukan dalam acara hari ini,” ujarnya. Kedua mahasiswa internasional tersebut sepakat bahwa kegiatan ini memberikan pengalaman berharga sekaligus meningkatkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan mencakup tiga komponen utama yang saling terintegrasi dalam mendukung konservasi ekosistem pesisir. Aksi bersih pantai yang melibatkan seluruh peserta merupakan implementasi langsung dari komitmen pengurangan polusi plastik, sejalan dengan tema global Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Kegiatan ini tidak hanya berfokus pada pembersihan sampah, tetapi juga sebagai upaya edukasi masyarakat tentang dampak jangka panjang polusi plastik terhadap ekosistem laut, yang mendukung pencapaian SDG 12 (Responsible Consumption and Production) melalui peningkatan kesadaran tentang pola konsumsi berkelanjutan. Program penanaman 400 bibit pandan laut di Pantai Pelangi menjadi inisiatif strategis dalam restorasi ekosistem pesisir yang berkontribusi signifikan terhadap SDG 13 (Climate Action) melalui peningkatan kapasitas penyerapan karbon dan mitigasi perubahan iklim. Pemilihan Pantai Pelangi sebagai lokasi kegiatan sangat tepat mengingat potensi ekologis kawasan pesisir Bantul yang memerlukan upaya konservasi intensif. Pandan laut sebagai vegetasi pesisir memiliki peran vital dalam mencegah abrasi pantai, menjaga stabilitas garis pantai, dan menyediakan habitat bagi berbagai spesies fauna pesisir. Kegiatan ini juga mendukung SDG 15 melalui upaya perlindungan keanekaragaman hayati di zona pesisir.

Pelepasliaran 90 ekor tukik menjadi puncak kegiatan yang mencerminkan komitmen jangka panjang terhadap konservasi spesies terancam punah. Program ini secara langsung mendukung SDG 14 dalam hal perlindungan keanekaragaman hayati laut dan upaya pencegahan kepunahan spesies. Tukik sebagai fase awal kehidupan penyu laut memiliki peran ekologis penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut, dan program pelepasliaran ini menjadi investasi jangka panjang untuk keberlanjutan populasi penyu di perairan Indonesia. Keberhasilan kegiatan ini menunjukkan efektivitas pendekatan kolaboratif dalam implementasi program konservasi lingkungan, yang sejalan dengan SDG 17 (Partnerships for the Goals) melalui penguatan kemitraan antara institusi akademik dan organisasi masyarakat. Partisipasi mahasiswa UGM yang tercatat sebagai kontributor tertinggi dalam Yayasan Aksi Konservasi Yogyakarta mendemonstrasikan peran strategis generasi muda dalam gerakan konservasi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.

Kegiatan ini juga berkontribusi pada pencapaian SDG 4 (Quality Education) melalui pembelajaran experiential yang memberikan pengalaman langsung kepada peserta tentang tantangan dan solusi dalam pengelolaan lingkungan pesisir. Pendekatan pembelajaran berbasis aksi ini memperkuat kapasitas peserta dalam memahami kompleksitas isu lingkungan dan mengembangkan keterampilan praktis dalam implementasi program konservasi. Melalui kegiatan “Funtastic Without Plastic: Save Nature for the Future” di Pantai Pelangi, Program Studi Magister Ilmu Lingkungan UGM dan Fourkey Yogyakarta telah menunjukkan model implementasi SDGs yang efektif melalui integrasi pendidikan, aksi konservasi, dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan ini diharapkan menjadi inspirasi bagi institusi pendidikan lainnya dalam mengembangkan program-program inovatif yang mendukung pencapaian target pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam konteks perlindungan lingkungan dan mitigasi perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat lokal Kabupaten Bantul melalui peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan potensi pengembangan ekowisata berkelanjutan.

123
Universitas Gadjah Mada

Magister dan Doktor Ilmu Lingkungan
UNIVERSITAS GADJAH MADA

Jl. Teknika Utara, Pogung, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta, 55284
Telp. (+62) 858-6655-3174
Email: ilmulingkungan.pasca@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY