
Tim gabungan mahasiswa doktoral dari program studi Ilmu Lingkungan, Ilmu Geografi, dan Kependudukan Universitas Gadjah Mada melaksanakan studi lapangan komprehensif di Pulau Komodo sebagai bagian dari kegiatan Ekspedisi Sunda Kecil pada tanggal 1–7 Juli 2025. Ekspedisi ini berfokus untuk memahami status konservasi, ekologi perilaku, dan potensi pariwisata berkelanjutan dari spesies biawak terbesar di dunia yaitu Komodo (Varanus komodoensis).
(Dokumentasi Kegiatan)
Selama kunjungan di Pulau Komodo, para mahasiswa mendapatkan kesempatan langka bertemu dengan Thomas, Komodo Jantan berusia 20 tahun, dipandu oleh beberapa Ranger Konservasi dari Taman Nasional Komodo yang yang dipimpin oleh Pak Fajar. Kunjungan ini kebetulan dilaksanakan ketika musim kawin Komodo, yaitu sekitar Juni-Juli-Agustus. Komodo adalah spesies biawak penyendiri, tidak suka berpindah-pindah jauh dari daerah teritorialnya, dan hanya bersosialisasi dengan jenisnya ketika musim kawin atau saat berburu mangsa besar.
Dari informasi Pak Fajar, predator purba ini walau tampak dari luar terlihat tenang saat dikelilingi oleh banyak wisatawan, dapat saja bersikap agresif ketika ada gerakan yang tiba-tiba, provokasi yang disengaja seperti menggerakkan benda asing di depannya, atau mencium aroma amis ikan dan darah. Oleh karena itu, setiap lima orang pengunjung akan selalu didampingi oleh satu Ranger terlatih yang membawa tongkat kayu berbentuk huruf Y untuk keamanan terutama bagi yang membawa anak-anak ataupun wanita yang sedang menstruasi. Pak Fajar juga mengungkap fakta menarik, bahwa bukti rekam fosil menunjukkan biawak introvert ini memiliki garis keturunan genetik dari benua Australia yang kemudian berevolusi dan merantau ke arah Barat hingga tiba di Kepulauan Sunda Kecil, Indonesia.
Menurut Fizul Surya Pribadi, salah satu kandidat doktoral ilmu lingkungan, yang menyaksikan Thomas, si Komodo yang kalem dan misterius di habitat aslinya, adalah pengalaman yang merendahkan hati dan membuka wawasan ilmiah. Kenapa? Secara global, biawak Komodo ini termasuk spesies yang terancam punah dalam daftar merah IUCN (The International Union for Conservation of Nature). Populasi Komodo saat ini semakin sedikit dan keberadaan mangsa besar untuk diburu, seperti rusa, juga terbatas. Hanya 15% wilayah habitat Komodo di Flores yang masuk dalam Kawasan lindung, sementara sisanya telah didominasi oleh aktivitas manusia serta persaingan predasi dengan anjing liar.
“Bayangkan jika makhluk megah peninggalan dari masa purbakala ini punah dan hanya menjadi sosok mitos di buku sejarah di masa depan?” Ungkap Fizul. Apakah membiarkannya hidup secara alami sudah cukup? Di sini, manusia memiliki peran penting sebagai pelaku konservasi. Selain itu, mengungkap rahasia kehidupan kadal raksasa yang sudah ada sejak jutaan tahun yang lalu ini akan sangat menarik, contohnya bagaimana spesies ini bisa beradaptasi dan bertahan hidup di tengah perubahan lansekap bumi selama jutaan tahun. Ini artinya, biawak Komodo adalah spesies kunci atau penghubung kehidupan sekarang dengan masa lalu. Mempelajari strategi bertahan hidup dan adaptasi genetik dari Komodo dapat menjadi peluang bagi para ilmuwan saat ini untuk untuk melindungi spesies lain yang terancam oleh perubahan iklim dan hilangnya habitat.
Berbagai studi ilmiah telah banyak dilakukan. Taman Nasional Komodo bekerjasama dengan tim peneliti Komodo Survival Program telah lama mengkaji tentang reproduksi dan pertumbuhan Komodo dalam iklim tropis, pola perilaku bersarang, pemantauan populasi Komodo secara berkelanjutan dengan metode camera trapping, hingga estimasi populasi spesies mangsa Komodo. Penelitian jangka panjang ini memberikan basis data yang objektif dan komprehensif untuk menentukan strategi konservasi yang tepat dan arah penelitian di masa mendatang.
Ekspedisi ini juga menyoroti hubungan kompleks antara upaya konservasi dan pembangunan ekonomi lokal melalui ekowisata. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu penduduk lokal, kendati sektor pariwisata menyediakan modal yang penting untuk program konservasi dan komunitas lokal, tim ekspedisi menemukan bahwa masyarakat lokal belum tentu menerima manfaat yang pantas untuk objek wisata yang telah ditetapkan menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia sejak tahun 2011. Masih banyak kapal wisata yang beroperasi di perairan Kepulauan Sunda Kecil ini dimiliki oleh pihak luar, bukan warga lokal, sehingga terjadi kebocoran manfaat ekonomi yang seharusnya mendukung konservasi dan pembangunan komunitas lokal. Ini menjadi catatan bagi pemerintah, peneliti, maupun stakeholder lokal untuk pengembangan model ekowisata berbasis komunitas sekaligus bersinergi dengan berbagai pihak untuk melindungi ekosistem Taman Nasional Komodo dan kelestarian hayati spesies-spesies langka di dalamnya.
Kegiatan ekspedisi ini secara langsung mendukung beberapa poin dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pertama, poin SDG 13: Penanganan Perubahan Iklim, karena penelitian terhadap adaptasi ekologis Komodo memberi wawasan tentang bagaimana spesies bertahan dalam kondisi iklim ekstrem selama jutaan tahun, yang relevan untuk strategi mitigasi perubahan iklim masa kini. Kedua, SDG 15: Ekosistem Daratan, karena upaya konservasi Komodo berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati dan pemulihan habitat alaminya. Ketiga, SDG 14: Ekosistem Lautan, terutama terkait perlindungan kawasan pesisir dan laut di sekitar Taman Nasional Komodo dari eksploitasi wisata yang tidak berkelanjutan. Keempat, SDG 8: Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi, melalui pengembangan ekowisata berbasis komunitas lokal sebagai sumber pendapatan yang berkelanjutan dan inklusif. Terakhir, SDG 17: Kemitraan untuk Mencapai Tujuan, yang tercermin dari kolaborasi antara universitas, pemerintah, ranger konservasi, dan masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian spesies Komodo sebagai warisan dunia.
Penulis: Nida Humaida
Editor: Ulyn N